Rabu, 29 April 2009

Fakultas Hukum UNTAN Memiliki Inventaris Sepeda Motor

Setiap tahun semua intansi pemerintah menyediakan anggaran untuk belanja keperluan kantor. Anggaran tersebut sudah direncanakan setiap awal tahun. Berkenaan denga hal tersebut, maka Fakultas Hukum UNTAN, menggunakan salah satu mata anggarannya untuk keperluan inventaris kantor. Oleh karena diperlukan sarana penunjang untuk melaksanakan aktifitas kantor, maka anggaran tersebut digunakan untuk pembelian 1 unit kendaraan bermotor roda 2 jenis bebek. Dengan adanya pembeliaan kendaraan tersebut, maka yang berkenaan dengan operasional kantor, akan lebih lancar. Terutama dalam pemanfaatan untuk mengantar surat khususnya, dan keperluan lainnya yang sifatnya untuk kelacaran mobilitas pada umumnya. Memang selama ini, untuk melaksanakan kegiatan tersebut di atas, dilakukan dengan kendaraan pribadi. Semoga barang inventaris tersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan kantor dengan sebaik - baiknya. Amin....
»»  Selengkapnya ...

FH UNTAN Mendapat Bantuan GENSET dari MKRI

Rencananya Fakultas Hukum UNTAN akan mendapatkan bantuan sebuah Genset dari Mahkamah Konstitusi RI untuk keperluan kelancaran penyelenggaran Video Conference. Hal ini diberitahukan dari Pihak Pengadaan Genset dari Jakarta (Bapak Doni) yang menghubungi ke bagian Pengelola Video Conference, Selasa siang melalui telepon. Sebagai pemenang tender pengadaan genset tersebut, beliau mengatakan mengenai persiapan awal terutama masalah tempat & posisi intalasi kabel. Untuk hal tersebut maka beliau menanyakan apakah disini ada teknisi yang bisa memasang instalasinya. Bila ternyata tidak ada, maka dari pihak pengadaan akan menyiapkan tenaga teknisinya. Semua biaya yang berkenaan dengan hal tersebut akan beliau tanggung. Untuk rencana pengiriman genset tersebut, paling lama dilakukan 2 minggu.
Bantuan yang diberikan tersebut, hanya diberikan kepada seluruh Fakultas Hukum Seluruh Indonesia saja. Pihak MKRI sangat menaruh perhatian sungguh - sungguh dalam rangka menyiapkan sarana penunjang dimana semua itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Hal ini guna demi kelancaran jalannya Sidang Umum Jarak Jauh, Kuliah Umum Jarak Jauh, Reportase Jarak Jauh.

»»  Selengkapnya ...

Berantas Korupsi Pada Penyelenggaraan Jama'ah Haji


Masih ingat dalam kenangan kita tentang adanya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ini masih terjadi dimana - mana, termasuk juga di Departemen Agama RI. Ini sudah berlangsung sangat lama, dimana indikatornya adalah tingginya Ongkos Naik Haji. Apalagi bila dibandingkan dengan biaya penyelenggaraan ibadah haji negara tetangga kita. Sehingga menurut taksiran dari Indonesian Corruption Watch (ICW) berkisar Rp. 1,2 Triliun. Point yang diindikasikan untuk dikorupsi ada biaya penerbangan, yang menurut Maftuh Basyuni Pihak Penerbangan Garuda selalu merugi, padahal kenyataannya biaya penerbangan haji itu tidak merugi. Selain itu masalah yang timbul tiap penyelenggaraan ibadah haji adalah masalah : pelayanan jamaah terhadap pemondokan, cattering makanan, dll yang selalu memberikan catatan yang kurang baik. Masalah lainnya adalah tabungan jamaah haji & bunga jasa giro. Pihak Departemen Agama mengatakan bahwa tabungan & giro pada tanggal 13 November 2008 sekitar Rp. 500 Milyar yang memiliki 680 ribu jamaah haji yang menunggu. Bila dikaitkan dengan bunga tabungan & giro 4%, maka jumlah sebenarnya mencapai Rp. 986 milyar.

Dari tahun ke tahun sepertinya tidak ada perubahan perbaikan yang signifikan termasuk juga dalam pengelolaan Dana Abadi Umat (DAU).


Oleh karena itu, kita berharap dengan indikasi tersebut di atas yang sering terjadi setiap penyelenggaraan ibadah haji, agar KPK segera bertindak untuk menyelamatkan uang jamaah dari tindak pidana korupsi. Padahal para jamaah sudah bersusah payah untuk mengumpulkan biaya haji. Apalagi kita tahu bahwa sebagain besar jamaah haji yang berangkat tersebut adalah masyarakat menengah ke bawah, dimana mereka mengumpulkan uang tersebut bertahun - tahun. Sungguh keterlaluan bila uang yang dikumpulkan untuk menjalankan ibadah haji tersebut sengaja dikorupsi. Apalagi yang mengkorupsi tersebut dari Departemen Agama yang notabene mereka tahu akan dosa - dosa yang mereka lakukan. Masya Alloh.
»»  Selengkapnya ...

Selasa, 28 April 2009

Pengajuan Peserta BPPS Bagi Perguruan Tinggi

Berdasarkan Surat yang dikirimkan dari Universitas Tanjungpura, yang ditandatangani oleh Rektor UNTAN, Bapak Dr. H. CHAIRIL EFFENDY, MS., maka Quota BPPS bagi UNTAN sebagai pengirim dosen yang akan studi lanjut Program MAGISTER (S2) pada Perguruan Tinggi di dalam negeri sebanyak 20 orang, dan tidak ada quota untuk Program Doktor (S3). Oleh karena itu tiap - tipa Fakultas diminta untuk mengusulkan calon penerima beasiswa BPPS, paling lambat hari Sabtu tanggal 16 Mei 2009, pukul 14.00 WIB. Setelah itu tidak akan diproses, dan quotanya akan diberikan kepada calon cadangan dari fakultas lain, yang salah satu kriterianya adalah berdasarkan urutan berkas yang masuk.

Untuk dapat melihat persyaratan beasiswa tersebut, calon peserta dapat menghubungi Pihak Fakultas masing - masing.

»»  Selengkapnya ...

Senin, 27 April 2009

Gerak Jalan Sehat

Dalam rangka menyambut Diesnatalis UNTAN ke - 50, maka salah satu agenda yang diadakan adalah Gerak Jalan Sehat. Adapun pelaksanaannya tersebut rencananya akan berlangsung pada tanggal 17 Mei 2009, mulai jam 05.30 WIB ~ selesai, dengan Start di Halaman Auditorium UNTAN. Acara tersebut ditujukan untuk seluruh Keluarga Besar Universitas Tanjungpura Pontianak. Untuk dapat melihat AGENDA DIESNATALIS UNTAN, Klik DISINI. Informasi selengkapnya, anda dapat menghubungi Panitia Pelaksana Diesnatalis UNTAN.
»»  Selengkapnya ...

Sabtu, 25 April 2009

Hukum Kewarisan Islam

Kepastian hukum, keadilan dan persamaan hak adalah pokok - pokok persoalan penting dalam Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, yang mengenal 3 teori, yaitu Syafi'i, Hazairin, dan KHI. Buku ini mengungkap masalah tersebut secara komperatif.
Persamaan ketiga teori tersebut terletak pada penggolongan ahli waris atas 3 golongan, yaitu : Syafi'i 1. Dzawul Furudl, 2. Asabah, dan 3. Dzawir Arham. Hazairin : 1. Zawul Faraidl, 2. Zawul Qarabat, dan 3. Mawali. Sedangkan KHI : 1. Zawul Furudl, 2. Asabah, dan 3. Ahli Waris Pengganti.

Sedangkan perbedaannya, Syafi'i diskriminasi dalam menentukan ahli waris, Hazairin tidak mengenal diskriminasi, dan KHI walau bercorak bilateral namun masih mengandung sifat diskriminasi.

Itulah sebagian cuplikan dari Buku yang dibuat oleh H. AHMAD ZAHARI, SH., M.Kn, dengan judul : Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Untuk lebih lengkapnya anda dapat membaca buku tersebut atau dapat menghubungi pengarang buku tersebut di Fakultas Hukum UNTAN.


Sumber Berita : H. AHMAD ZAHARI, SH., M.Kn

»»  Selengkapnya ...

Mengoptimalkan Ruang Komputer

Di Fakultas Hukum UNTAN, terdapat ruangan yang dulunya berfungsi sebagai ruang lab. komputer matakuliah Statistik & Aplikasi Komputer. Sumber pengadaan komputer tersebut berasal dari bantuan Program DUE-Like & TPSDP. Selama matakuliah tersebut ditiadakan, maka fungsi penggunaan ruangan tersebut tidak beroperasi lagi. Nah, sekarang rencanakan akan difungsikan kembali penggunaan ruangan tersebut, dengan kapasitas komputer 30 unit, kata operator komputer, Bapak MUNDUS. Namun, kendala yang masih terjadi adalah faktor supply aliran listrik yang masih belum memenuhi pasokan. Sehingga semua komputer yang ada tidak dapat dioperasikan semua. Masalah lainnya adalah ada beberapa komputer yang masih mempunyai generasi lama yang sering bermasalah. Belum lagi masalah jaringan yang sering "down". Nah, itulah kendala yang dihadapi sampai saat ini. Pihak Fakultas sendiri, telah menata ulang komputer yang ada termasuk kabel jaringan, setting jaringan, mengganti hardware yang rusak, dll. Semoga setelah perbaikan tersebut dapat difungsikan untuk kebutuhan dosen maupun mahasiswa Fakultas Hukum UNTAN.
»»  Selengkapnya ...

Jumat, 24 April 2009

Seminar Emas 2009

Sehubungan dengan DIESNATALIS Untan ke - 50 merupakan Tahun Emas, maka Universitas Tanjungpura Pontianak akan menyelenggarakan berbagai macam kegiatan. Diantaranya Seminar Emas ke - 50, dengan Menghadirkan Pakar Kesehatan Seksual / Sexologi, dr. H. BOYKE DIAN NUGRAHA. Sp.Og, MARS. Adapun tema yang akan diusung adalah "Sex Sehat & Harmonis. Acara tersebut rencananya akan diselenggarakan di Auditorium UNTAN pada tanggal 2 Mei 2009, mulai pukul 08.30 - selesai. Bagi peserta yang ingin mengikuti seminar tersebut dapat menghubungi Panitia Diesnatalis UNTAN.

Biaya Pendaftaran :
  • Platinum Rp. 150.000
  • Gold Rp. Rp. 100.000
  • Silver Rp. 50.000
  • Standar Rp. 35.000

Setiap peserta seminar tersebut akan diberikan : Buku catatan, Makalah Seminar, & Sertifikat.

Informasi & Pendaftaran :
Sekretariat Dharma Wanita UNTAN - Jl. Daya Nasional Pontianal
Telp. (0561) 747226
HP. 081345977376
»»  Selengkapnya ...

Dekan Fakultas Hukum UNTAN Akan Menghadiri Program Komisi Yudisial

Rencananya pada tanggal 14 ~ 16 April 2009, Dekan Fakultas Hukum UNTAN, akan diundang pada Acara Program Komisi Yudisial Dibidang Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengawasan Proses Peradilan. Beliau mengatakan : Beliau bersedia untuk hadir pada kegiatan tersebut yang akan di adakan di kota Malang.
»»  Selengkapnya ...

Kamis, 23 April 2009

Kerjasama KPPU Dengan Fakultas Hukum UNTAN

Pada hari ini, 23 April 2009 Tim KKPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sedang melakukan kerjasama dengan Fakultas Hukum UNTAN. Kerjasama ini rencananya akan dilakukan dalam 2 hari & dilakukan di ruang sidang FH UNTAN. Dalam kerjasama ini, Tim KPPU langsung disambut oleh Dekan Fakultas Hukum UNTAN.


Adapun Tugas & Wewenang KPPU adalah :

T u g a s

  1. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;

  2. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;

  3. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;

  4. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
    memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

  5. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
    memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

W e w e n a n g

  1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
    melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

  2. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya;

  3. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

  4. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;

  5. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;

  6. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;

  7. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
    mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;

  8. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;

  9. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
    menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
»»  Selengkapnya ...

Laporan EPSBED Untuk Periode Semester Ganjil 2008/2009

Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri (EPSBED) Tahun 2009 dari semua Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta akan segera dilaporkan. Batas terakhir penyampaian laporan tersebut, tanggal 20 April 2009. Adapun program yang digunakan saat ini, harus menyesuaikan dengan Program Versi terbaru : SK-034, TBDOS NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional), MSPDS. Kedepannya, Direktorat Pendidikan Tinggi, akan menetapkan Sistem :

  • NIDON (Nomor Induk Dosen Nasional)

  • NIMAN (Nomor Induk Mahasiswa Nasional)

  • NILUM (Nomor Induk Lulusan Ijazah Nasional)

Oleh karena itu, Fakultas Hukum UNTAN juga sedang mempersiapkan Laporan EPSBED tersebut, baik yang berkenaan dengan Dosen, Mahasiswa, maupun Data Kampus. Jangan sampai laporan yang disampaikan tersebut menjadi INVALID.

»»  Selengkapnya ...

Rabu, 22 April 2009

Hari BUMI se- dunia





Pada hari ini, 22 April 2009, kita memperingati Hari Bumi Se - Dunia. Pada saat ini kita sudah banyak merasakan bahwa "Perut" Bumi" telah : dibor, digergaji, dibakar, diledakan, dikotori dengan limbah / sampah, digali, dirusak, dan lain - lain yang sifatnya dapat menghancurkan bumi. Tak kalah hebatnya, kegiatan manusia dengan cara mengeksplotasi : hutan, gunung, sungai, laut yang dilakukan dengan "serakah", tanpa memikirkan dampak negatifnya ke depan terhadap bumi kita. Banjir, Pemanasan suhu global yang meningkat, polusi (udara & air), kebakaran hutan, pencemaran alam, ketidakseimbangan ekosistem, dan lain - lain adalah dampak negatif yang akan timbul. Masihkan kita akan seperti ini ? Apakah kita merupakan bagian dari itu ? Kalau kita tetap memiliki budaya merusak, maka "Hukum Alam" yang akan membalasnya. Oleh karena itu, "Jagalah Kelestarian Bumi Kita ini".
»»  Selengkapnya ...

Selasa, 21 April 2009

Hukum & Persamaan Hak


Hari ini, 21 April adalah peringatan hari Raden Ajeng Kartini. Didalam situasi kondisi negara dan tata kehidupan masyarakat yang semakin sulit ini, sudah sepantasnya dalam peringatan hari Kartini, kita perlu mengingatkan kembali peran perempuan yang semestinya :
Bung Karno pada 3 November 1947, mengingatkan pada kita ”sayang sekali, bahwa soal wanita itu belum pernah dipelajari sungguh-sungguh oleh pergerakan kita.......sesudah kita memproklamirkan kemerdekaan. Sebab kita tidak dapat menyusun Negara dan tidak bisa menyusun Masyarakat, jika (antara lain-lain soal) kita tidak mengerti soal wanita”.
Negeri ini sudah 62 tahun merdeka, tapi yang dipesankan Bung Karno di atas belumlah bisa di atasi. Dari hari ke hari kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. Penderitaan ibu dan anak, semakin naik kualitas dan kuantitasnya.
Sering kita terbuai dengan penjelasan bahwa peran laki-laki dan perempuan sudah sama. Emansipasi wanita sudah tercapai. Buktinya, sudah ada gubernur wanita, kapolda wanita, DPRD wanita, dokter wanita, pilot wanita, nahkoda kapal, sopir wanita, kernet wanita, tukang tambal ban wanita, dan sebagainya. Tetapi berbarengan dengan hal itu, terjadi luar biasa atas pelecehan terhadap wanita, kekerasan terhadap wanita, penindasan terhadap wanita, dan sejenisnya.
Kalau kita merunut sejarah peradaban manusia, jauh dijaman purbakala tata masyarakat peribuan; kedudukan perempuan sangat tinggi. Perempuan-perempuan menjadi Raja, menjadi Panglima Perang, menjadi Hakim, menjadi Kepala Agama, dan sebagainya. Peran kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki; bahkan dibeberapa sifat melebihi kaum laki-laki, mengalahkan kaum laki-laki. Pada abad ke 10 dan ke 11, pernah tercatat adanya ”negeri kaum perempuan” atau ”negeri raja-raja putri”. Kaum perempuanlah yang membuat hukum-hukum negara. Namun, saat sekarang, peran perempuan relatif melemah. Elit-elit negara, dikuasahi laki-laki yang berkuasa memproduk undang-undang negara.
Ketika kekuasaan politik dikuasai laki-laki dan mulai cenderung pada penguasaan di segala bidang. Mulailah muncul kesadaran dan terjadi gerakan perempuan yang menuntut perlakukan hak yang sama. Macam-macam hak, terutama hak politik. (Yang baru hangat didiskusikan dan dicarikan solusinya adalah keterwakilan 30% perempuan dalam UU Pemilu 2008 ini).
Momentum PERINGATAN KARTINI 2009 ini, seharusnya dimanfaatkan oleh PARA KAUM PEREMPUAN untuk melakukan refleksi, evaluasi dan gerakan kesadaran emansipasi politik perempuan untuk merebut kembali peran-peran yang hilang serta mensejajarkan dengan peran laki-laki.
Harus disadari, bahwa pada dasarnya Perempuan dan Laki-laki mempunyai dasar kemampuan yang sama, bahkan dalam hal untuk melaksanakan tujuan kodrat alam perempuan mempunyai modal yang lebih baik, antara lain : Lebih dermawan, Lebih bisa dipercaya, Lebih iklas dan Kurang serakah. Bahkan Bung Karno pernah mengatakan ”Sangat boleh jadi kaum perempuan itu lebih cakap buat urusan politik dari pada laki-laki”. Namun beliau juga berpesan ”Masyarakat itu hanyalah sehat, manakala ada perimbangan hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan, yang sama tengahnya, sama beratnya, sama adilnya, terutama dibidang HUKUM & PERSAMAAN HAK.”
SELAMAT MEMPERINGATI HARI KARTINI, SELAMAT BERJUANG KAUM HAWA.
»»  Selengkapnya ...

Senin, 20 April 2009

Reuni Akbar FH UNTAN Pontianak

Seraya dengan adanya momen peringatan ke 50 tahun berdirinya Universitas Tanjungpura dan 50 tahun Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, maka Fakultas Hukum UNTAN akan mengadakan REUNI AKBAR yang ke - 50. Disini ajang pertemuan para Alumnus Fakultas Hukum Untan untuk mengadakan "Temu Kangen" dari semua angkatan. Semoga kegiatan ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat dukung oleh semua pihak. Amin.

Panitia Reuni Akbar,
»»  Selengkapnya ...

KHI & Kedudukannya Dalam Hukum Di Indonesia

Pengertian KHI
William Morris mengatakan, kata kompilasi berasal dari bahasa Latin “compilare” yang dalam bahasa Inggris berarti ”to heap together” atau “menghimpun menjadi satu kesatuan”. Dengan demikian menurut M. Tahir Azhari“ Kompilasi dapat diartikan sebagai himpunan materi hukum dalam suatu buku”. Sedangkan A. Hamid S. Attamimi mengartikan kompilasi sebagai “Suatu produk berbentuk tertulis hasil karya orang lain yang disusun secara teratur”.
Adapun yang dimaksud dengan KHI menurut M. Tahir Azhari adalah, “Suatu himpunan bahan - bahan hukum Islam dalam suatu buku atau lebih tepat lagi himpunan kaedah - kaedah hukum Islam yang disusun secara sistematis selengkap - lengkap mungkin dengan berpedoman pada rumusan kalimat atau pasal - pasal lazim digunakan dalam peraturan perundang - undangan, sedangkan menurut kesepakatan alim ulama Indonesia KHI adalah, “rumusan tertulis Hukum Islam yang hidup seiring dengan kondisi hukum dan masyarakat Indonesia”.
Kedua pengertian KHI tersebut memang terdapat perbedaan, namun keduanya merupakan satu kesatuan, dimana yang satu (M. Tahir Ashari) melihatnya dari sudut prosedur, tata cara dan format penyusunan, sedangkan yang lain (alim ulama) melihatnya dari sudut substansinya.


Hal - Hal Yang Diatur Dalam KHI
KHI terdiri dari tiga buku, yakni Buku I mengatur tentang PERKAWINAN, Buku II tentang KEWARISAN, dan Buku ke III tentang PERWAKAFAN.

· Buku I (berjumlah Sembilan Belas Bab & Seratus Tujuh Pasal), yaitu :
-Bab I Ketentuan Umum (pasal 1) mengenai Pengertian Peminangan, Wali Hakim, Akad Nikah, Mahar, Takliq Talaq, Harta Kekayaan dalam perkawinan atau Sirkah, Pemeliharaan Anak atau Hadhonah, Perwalian, Khuluk, dan Pengertian Mut’ah.
-Bab II mengenai Dasar - Dasar Perkawinan (pasal 2 ~ 10), meliputi Pengertian Perkawinan, Tujuan Perkawinan, Sahnya Perkawinan, Pencatatan & Tata Cara Perkawinan, Akta Nikah Sebagai Bukti Perkawinan, Isbat Nikah sebagai Upaya Hukum Perkawinan yang tidak dicatat, Putusnya Perkawinan dan Rujuk.
- Bab III mengenai Peminangan (pasal 11 ~ 13),
- Bab IV mengenai Rukun & Syarat Perkawinan (pasal 14 ~ 29) mengatur hal - hal yang berhubungan dengan Rukun Perkawinan, Syarat Untuk Calon Suami Isteri, Wali Nikah, Saksi, dan Pelaksanaan Ijab Kabul (akad nikah).
- Bab V mengenai Mahar (pasal 30 ~ 38),
- Bab VI mengenai Larangan Kawin (pasal 39 ~ 44) yang meliputi larangan nasab dan larangan - larangan lainnya.
- Bab VII mengenai Perjanjian Perkawinan (pasal 45 ~ 52) yang meliputi bentuk perjanjian, tata cara pembuatan perjanjian, pencabutan perjanjian.
- Bab VIII mengenai Kawin Hamil (pasal 53 ~ 54).
- Bab IX mengenai Poligami (pasal 55 ~ 59).
- Bab X mengenai Pencegahan Perkawinan (pasal 60 ~ 69).
- Bab XI mengenai Batalnya Perkawinan (pasal 70 ~ 76).
- Bab XII mengenai Hak & Kewajiban Suami Isteri (pasal 77 ~ 84).
- Bab XIII mengenai Harta Kekayaan Dalam Perkawinan (pasal 85 ~ 97).
- Bab XIV mengenai Pemeliharaan Anak (pasal 98 ~ 106).
- Bab XV mengenai Perwalian (pasal 107 ~ 112).
- Bab XVI mengenai Putusnya Perkawinan (pasal (113 ~ 148).
- Bab XVII mengenai Akibat Putusnya Perkawinan (pasal 149 ~ 162).
- Bab XVIII mengenai Rujuk (pasal 163 ~ 169).
- Bab XIX mengenai Masa Berkabung (pasal 170).

· Buku II tentang Kewarisan terdiri dari VI Bab, yaitu :
- Bab I mengenai Ketentuan Umum (pasal 171) memuat pengertian tentang Hukum Kewarisan, Pewaris, Ahli Waris, Harta Peninggalan, Harta Warisan, Wasiat, Hibah, Anak Angkat, dan Baitumal.
- Bab II mengenai Ahli Waris (pasal 172 ~ 175) memuat ketentuan tentang Syarat & Penghalang Kewarisan, Kelompok Ahli Waris, Kewajiban Ahli Waris Terhadap Pewaris, dan Batas Tanggung Jawab Ahli Waris terhadap Hutang Pewaris.
- Bab III mengenai Besarnya Bagian (pasal 176 ~ 191).
- Bab IV mengenai Aul & Rad (pasal 192 ~ 193).
- Bab V mengenai Wasiat (pasal 194 ~ 209).
- Bab VI mengenai Hibah (pasal 210 ~ 214).

· Buku III tentang Perwakafan terdiri dari VI Bab, yaitu :
- Bab I mengenai Ketentuan Umum (pasal 215) memuat ketentuan yang berhubungan dengan Pengertian Wakaf, Wakif, Ikrar, Benda Wakaf, Nadzir, dan Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf.
- Bab II mengenai Fungsi, Unsur - Unsur & Syarat Wakaf (pasal 216 ~ 222).
- Bab III mengenai Tata Cara Perwakafan & Pendaftaran Wakaf (pasal 223 ~ 224).
- Bab IV Perubahan, Penyelesaian & Pengawasan benda Wakaf (pasal 225 ~ 227).
- Bab V mengenai Ketentuan Peralihan (pasal 228).
- Bab VI Penutup (pasal 229).

Untuk lebih lengkapnya, anda dapat membaca buku : Buku KHI & Kedudukannya Dalam Hukum Di Indonesia)

Sumber Berita : H. AHMAD ZAHARI, SH., M.Kn
»»  Selengkapnya ...

Perpustakaan On-line

Perpustakaan Online MKRI ini menyajikan informasi tentang fasilitas yang tersedia, layanan yang diberikan, koleksi yang dimiliki dan berbagai informasi penting lainnya.
Situs ini juga menyediakan akses untuk mencari informasi koleksi melalui katalog online dan koleksi putusan MKRI. Untuk dapat bergabung, anda dapat klik disini.

Kerjasama : 34 FH Seluruh Indonesia - MKRI
»»  Selengkapnya ...

Sabtu, 18 April 2009

Pendaftaran S2 UNTAN

Bagi mahasiswa yang ingin melanjutkan Program Strata 2 Untan, anda dapat mengisi Formulir Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Pascasarjana (S2) Universitas Tanjungpura Tahun Akademik 2009/2010, dapat mendownload formulir disini.
»»  Selengkapnya ...

Dies Emas UNTAN 1959 - 2009












Agenda Kegiatan :


  • Seminar Internasional, 18 - 19 Mei 2009
  • Rapat Senat Terbuka
  • Home Coming Day, 17 Mei 2009
  • Gerak Jalan Sehat Keluarga Besar UNTAN
  • Penulisan Buku "50 Tahun UNTAN"
  • Lomba Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa, 9 Feb - 2 Mei 2009
  • Launching Buku Dosen & Mahasiswa UNTAN
  • Konvensi Kampus & Pertemuan Forum Rektor Indonesia
  • Expo & Bazar, 17 -20 Mei 2009

Sumber Berita : www.untan.ac.id

»»  Selengkapnya ...

UNTAN Targetkan 400 Doktor

Rektor Universitas Tanjungpura (UNTAN) Pontianak, Dr. Chairil Effendy, menargetkan tujuh tahun kedepan pihaknya bisa menyekolahkan sebanyak 400 orang dosen di lingkungan Untan Pontianak bisa menyelesaikan pendidikan doktor.
“Tahun ini paling tidak kita akan menyekolahkan sebanyak 40 orang dosen untuk menyelesaikan gelar doktor dengan biaya dari bantuan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, tahun 2009 sebesar Rp. 11,7 miliar,” kata Chairil Effendy.
Ia mengatakan, bantuan Pemprov Kalbar sebesar itu sebagian besar akan digunakan untuk pembiayaan pendidikan S3 para dosen Untan Pontianak yang diperkirakan jumlahnya bisa mencapai 40 orang.
“Kalau bantuan dari Pemprov Kalbar ke depan bisa meningkat, Insya Allah tujuh tahun ke depan bisa 400 orang dosen yang bisa menyelesaikan pendidikan hingga S3,” katanya.
Ia menambahkan, paling tidak dari 400 dosen yang bergelar S3, 50 persen di antaranya bisa menyumbangkan karyanya untuk Kalbar.
Selain itu, Untan Pontianak, sedang mengincar hibah dari kompetisi Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional melalui Indonesia Managing - Harger Education Relevance and Eficiency (IM - HERE) sebesar Rp. 17 miliar, yang akan dipergunakan peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia) dosen seperti melanjutkan pendidikan hingga S3.
Secara keseluruhan, jumlah dosen di Untan Pontianak yang berkualifikasi S2 sebanyak 549 orang, S3 sebanyak 68 orang atau 68,10 persen dari seluruh dosen. Sementara untuk jumlah mahasiswa terdaftar tahun akademik 2007/2008 sebanyak 13.805 orang, baik reguler dan non reguler, Chairil Effendy.

Sumber Berita : www.untan.ac.id
»»  Selengkapnya ...

Sertifikasi Dosen

Syarat Perserta menurut Permendiknas No 42/2007 Pasal 1 ayat 2 dan Surat Edaran Dirjen Dikti:
1.memiliki kualifikasi akademik sekurang-kurangnya program magister (S2)/setara,
2.memiliki pengalaman kerja sebagai pendidik pada perguruan tinggi sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, dan memiliki jabatan akademik sekurang-kurangnya Asisten Ahli.
3.mempunyai beban akademik sekurang-kurangnya 12 sks per semester dalam dua tahun terakhir di perguruan tinggi di mana ia bekerja sebagai dosen tetap dan
4.Tidak sedang menjalani hukuman adminstratif

Yang Tidak Diperbolehkan :
1.dosen tetap yayasan yang juga berstatus sebagai guru tetap yayasan;
2.dosen tetap yayasan yang status kepegawaiannya pegawai PNS atau pegawai;
3.dosen tetap yayasan yang berumur lebih dari 65 tahun Nol bulan


Kriteria Urutan Peserta Menurut Surat Edaran Dirjen Dikti :
1.Jabatan Akademik
2.Jenjang Pendidikan
3.Daftar Urut Kepangkatan (DUK)
Urutan ini disusun berdasar urutan prioritas di tingkat perguruan tinggi


Kuota Nasional dan Kuota Perguruan Tinggi :
- Kuota tahun 2008 sebanyak 12.000 dosen
- Jumlah Gubes 3233 jadi kuota untuk dosen non Guru Besar yang dibagi 8767

Prosedur Sertifikasi Dosen :
1.Depdiknas menetapkan kuota nasional ( tahun 2008 sejumlah 12.000 ). Kuota ini kemudian dijabarkan oleh Dirjen Dikti menjadi kuota perguruan tinggi (PT-Pengusul). Khusus untuk perguruan tinggi swasta distribusinya diserahkan kepada Kopertis.
2.Pada PT-Pengusul kuota diproses menjadi daftar calon peserta sertifikasi dosen. PT-Pengusul dalam menangani proses sertifikasi ini disarankan untuk membentuk Panitia Sertifikasi Dosen (PSD) di tingkat PT-Pengusul.
3.Daftar calon peserta sertifikasi dosen di PT Pengusul diurutkan berdasar (1) jabatan akademik, (2) pendidikan terakhir, dan (3) daftar urut kepangkatan atau yang sejenisnya. Rambu-rambu pengurutan ini diberlakukan di tingkat perguruan tinggi.
4.PSD pada PT-Pengusul berkonsultasi dengan fakultas/jurusan/prodi untuk menentukan (1) mahasiswa, (2) teman sejawat, dan (3) atasan dosen yang akan menilai masing-masing calon peserta sertifikasi dosen.
5.PSD kemudian memberikan blangko isian kepada (1) mahasiswa, (2) teman sejawat, (3) atasan dosen yang akan menilai, dan (4) dosen yang diusulkan untuk memberikan penilaian persepsional. Selain penilaian persepsional, dosen yang diusulkan melakukan penilaian personal.
6.Hasil semua penilaian diserahkan kembali ke PSD.
7.PSD mengkompilasi hasil penilaian dan melengkapi dengan persyaratan lain seperti penilaian angka kredit, foto dan lain sebagainya. Hasil pengkompilasian ini menjadi berkas portofolio yang diserahkan oleh PSD di PT-Pengusul kepada perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi dosen (PTP-Serdos).
8.PTP-Serdos menilai portofolio dan hasilnya diserahkan kembali ke PT-Pengusul dan Ditjen Dikti.
9.Berdasarkan hasil ini kemudian Ditjen Dikti menerbitkan nomor registrasi (khusus) bagi yang lulus dan dikirim ke PTP-Serdos untuk penerbitan sertifikat.
10.Bagi yang tidak lulus diserahkan kepada PT-Pengusul untuk pembinaan dan pengusulan kembali.

Strategi Sertifikasi
1. Portofolio dan Ukuran Profesionalisme
Portofolio sebagaimana dimaksud dalam naskah ini adalah kumpulan dokumen yang menggambarkan prestasi seseorang. Portofolio dosen adalah kumpulan dokumen yang menggambarkan pengalaman berkarya/prestasi dalam menjalankan tugas profesi sebagai dosen dalam interval waktu tertentu. Sertifikasi dosen dilakukan melalui penilaian portofolio.
Komponen portofolio dirancang untuk dapat menggali bukti-bukti yang terkait dengan:
(a) kepemilikan kualifikasi akademik dan unjuk kerja Tridharma (sebagaimana diatur dalam SK Menkowasbangpan nomor 38 tahun 1999),
(b) kepemilikan kompetensi, yang diukur secara persepsional oleh diri sendiri, mahasiswa, teman sejawat dan atasan,
(c) pernyataan diri dosen tentang kontribusi yang diberikan dalam pelaksanaan dan pengembangan Tridarma.

2. Penilaian dan Bukti-bukti Portofolio
Penilaian portofolio merupakan penilaian terhadap kumpulan dokumen maupun data yang berupa SK Kenaikan Jabatan terakhir, instrumen persepsional dan personal/deskripsi diri yang telah diisi oleh diri sendiri, mahasiswa, teman sejawat dosen, dan atasan dosen. Khusus untuk instrumen deskripsi diri, penilaian dilakukan oleh asesor.
Bukti-bukti yang disediakan dosen peserta sertifikasi dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian:
(a) Bagian pertama, (untuk Penilaian Empirikal), adalah bukti yang terkait dengan kualifikasi akademik dan angka kredit dosen, untuk kenaikan jabatan akademik sebagaimana tersebut dalam SK Menkowasbangpan Nomor 38 Tahun 1999. Bukti berupa SK tentang kenaikan jabatan akademik terakhir, yang dilengkapi dengan rincian perolehan angka kredit dalam jabatan dan SK kepangkatan terakhir. SK kepangkatan untuk dosen tetap yayasan diperoleh setelah yang bersangkutan memperoleh SK Inpassing.
(b) Bagian kedua, (untuk Penilaian Persepsional), adalah bukti yang terkait dengan penilaian persepsional oleh diri sendiri, mahasiswa, teman sejawat dan atasan terhadap empat kompetensi dosen, yaitu kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian. Bukti berupa lembar-lembar penilaian yang telah diisi oleh diri sendiri, mahasiswa, teman sejawat, dan atasan.
(c) Bagian ketiga, (untuk Penilaian Personal), adalah pernyataan dari dosen yang bersangkutan tentang prestasi dan kontribusi yang telah diberikannya dalam pelaksanaan dan pengembangan Tridharma Perguruan Tinggi.

Ciri-Ciri Penilaian Portofolio.
Ciri-ciri yang digunakan dalam penilaian portofolio dosen adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan hasil Penilaian Angka Kredit dosen sebagai ukuran kualifikasi akademik dan unjuk kerja.
2. Menggunakan penilaian persepsional oleh mahasiswa, teman sejawat, atasan dan diri sendiri tentang kepemilikan kompetensi dosen untuk melaksanakan tugas profesionalnya.
3. Menggunakan penilaian personal oleh diri sendiri tentang kontribusi yang telah diberikannya dalam pelaksanaan dan pengembangan Tridharma Perguruan Tinggi.
4. Menggunakan tingkat kesesuaian penilaian persepsional dan personal untuk mendapatkan nilai akhir profesionalisme.
a. Rasional
Ciri-ciri tersebut didasarkan atas rasional sebagai berikut;
1. Penilaian angka kredit sebagaimana diatur dalam SK Menkowasbangpan nomor 38 Tahun 1999 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Nilai Angka Kreditnya merupakan cara yang cukup baik untuk mengukur kualifikasi akademik dan unjuk kerja dosen. Namun cara itu belum secara jelas mengukur tingkat kepemilikan kompetensi dosen dalam melaksanakan tugas profesionalnya sebagai dosen. Maka dalam sertifikasi dosen 2008 dikembangkan instrumen untuk menilai tingkat kepemilikan kompetensi dosen. Penilaian dilakukan secara persepsional oleh mahasiswa, teman sejawat, atasan dan diri sendiri.
2. Mahasiswa diminta menilai kompetensi dosen yang mengajarnya, karena mahasiswa dianggap sebagai pihak yang langsung merasakan sejauh mana dosen memiliki kompetensi yang diperlukan untuk dapat mengajar dengan baik.
3. Teman sejawat juga diminta menilai, karena kompetensi dosen dapat dirasakan dalam rapat-rapat resmi program studi atau jurusan, atau dalam perbincangan sehari-hari.
4. Atasan juga diminta menilai, karena diyakini mereka dapat merasakan sejauh mana dosen memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugasnya.
5. Sedangkan diri sendiri diminta menilai, karena diri sendirilah yang seharusnya paling tahu tentang kepemilikan kompetensi.
6. Selain secara persepsional dosen menilai kompetensinya seperti tersebut di atas, ia juga harus menilai kontribusi yang telah diberikannya dalam pelaksanaan dan pengembangan Tridharma perguruan tinggi. Secara personal/pribadi ia diminta mendeskripsikannya dalam instrumen deskripsi diri. Diharapkan ia jujur dalam menyampaikannya, karena penyampaian pernyataan ini adalah dalam rangka mendeskripsikan, bukan memamerkan jasa atau kemampuan.
b. Prasyarat
Hasil penilaian profesionalisme dosen akan valid hanya bila penilaian seluruh komponen dilakukan dengan jujur. Jadi kejujuran dosen, mahasiswa, teman sejawat dan atasan dalam menilai merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan sistem penilaian ini. Kejujuran ini pula yang hendak dibangun dengan sistem penilaian ini, karena diyakini bahwa kejujuran merupakan bagian tak terpisahkan dari profesionalisme.
c. Kiat
Sebagai upaya untuk mendorong para penilai tidak segan sehingga bisa didapat tingkat kejujuran optimal, dilakukan hal-hal berikut:
1. Persepsional
1) Penunjukan penilai kompetensi persepsional, baik mahasiswa, teman sejawat dosen maupun atasannya, dilakukan oleh pimpinan fakultas, bukan oleh dosen peserta sertifikasi dosen. Dosen yang dinilai diupayakan tidak mengetahui siapa yang menilainya.
2) Pengisian instrumen penilaian oleh mahasiswa diharapkan dilakukan ketika mahasiswa penilai selesai mengikuti sesi perkuliahan dalam matakuliah yang diberikan oleh dosen yang dinilai, setelah beberapa kali masuk kuliah, agar kemampuan dosen dapat dirasakan dan dinilai mahasiswa.
3) Penilaian oleh diri sendiri, teman sejawat dan atasan dilakukan sendiri-sendiri, di tempat yang ditetapkan sendiri tetapi dalam waktu yang ditentukan oleh pengelola fakultas; dengan demikian penilaian dilakukan dalam suasana tanpa tekanan, sehingga penilaian diharapkan dapat diberikan dengan lebih realistik.
2. Deskripsi Diri
Pernyataan deskripsi diri ditandatangani oleh dosen yang bersangkutan, sebagai bentuk pertanggungjawaban bahwa apa yang ditulis adalah dibuat olehnya sendiri, dan bahwa ia bersedia mempertanggungjawabkan kebenaran isinya.


Dikutif dari : MANAJEMEN PELAKSANAAN SERTIFIKASI DOSEN DAN PENGELOLAAN DATA, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 2008, oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, FASLI JALAL.
»»  Selengkapnya ...

Skema Prosedur Sertifikasi Dosen


»»  Selengkapnya ...

Rapat Senat Fakultas Hukum UNTAN (Lanjutan)

Setelah melakukan Rapat Senat Fakultas Hukum yang pertama, maka kegiatan tersebut dilanjutkan kembali pada hari Sabtu, 18 April 2009 ditempat yang sama. Rapat tersebut masih membahas topik yang sama, yaitu SERTIFIKASI DOSEN. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka Senat Fakultas Hukum UNTAN membahas dengan seksama. Sehingga dapat dihasilkan Dosen yang sesuai dengan kriteria yang berkualitas. Dimana antara Hak & Kewajiban dosen seimbang.
»»  Selengkapnya ...

Jumat, 17 April 2009

Rapat Senat Fakultas Hukum UNTAN

Pada tanggal 17 April 2009 mulai jam 08.00 - selesai di Ruang Sidang Fakultas Hukum UNTAN, dilakukan kegiatan rapat senat fakultas yang membahas tentang Sertifikasi Dosen FH Untan yang memenuhi syarat untuk mendapatkan Sertifikasi Dosen. Kegiatan tersebut dipimpin oleh Dekan Fakultas Hukum UNTAN dan diikuti oleh 25 orang anggota senat Fakultas Hukum UNTAN. Semoga dari hasil rapat tersebut, dapat menghasilkan dosen yang berkualitas.
»»  Selengkapnya ...

Kamis, 16 April 2009

Materi Kuliah Umum : "Hukum & Konstitusi HAM" LANJUTAN

Untuk materi Kuliah Umum Jarak Jauh V, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNS - Program Doktor (S3) Ilmu Hukum yang disampaikan oleh Bapak Prof. MOH. MAHFUD MD, SH yang dilaksanakan pada tanggal 15 April 2009, dapat Anda peroleh dengan menghubungi : Bapak MUHAMMAD SYAMSUDIN, di Video Conference Server Room - FH UNTAN Pontianak. (Jangan lupa untuk membawa Flash Disk).
»»  Selengkapnya ...

Rabu, 15 April 2009

Permasalahan DPT Sebuah Studi HTN

1. Apakah yang dimaksud dengan Pemilu Secara Hukum ? Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Pasal 1 angka 1 UU No 10 Tahun 2008, berdasarkan pasal esensi dari Pemilu sarana pelaksana kedaulatan rakyat, selanjutnya siapakah Pemilih secara hukum ?
2. Pasal 1 UU No 10 Tahun 2008 angka 20 Penduduk adalah Warga Negara Indonesia yang berdomisili di wilayah Republik Indonesia atau di luar negeri. Angka 21 Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Angka 22 Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.
3. Berdasarkan rumusan pasal di atas maka ranah hukumnya adalah hukum tata negara, karena yang penting sudah berumur 17 tahun keatas atau sudah pernah menikah, tetapi masalahnya bagaimana hak memilihnya ?
4. UU No 10 Tahun 2008 pada BAB IV HAK MEMILIH pada Pasal 19 ayat (1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Tetapi ada persyaratan Hukum Administrasi Negara , yaitu pada Pasal 19 ayat (2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih. Artinya ada mekanisme pendaftaran kemudian dipertegas Pasal 20 Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih
5. Salah satu tahapan terpenting dari Pemilu dan bisa menimbulkan masalah adalah sebagaimana diperintahkan pada Pasal 4 ayat (1) UU No 10 Tahun 2008 Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Pasal 4 Ayat (2) UU No 10 Tahun 2008 Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi: a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
6. Pertanyaannya adalah bagaimana mekanisme hukum pendaftaran pemilih pada BAB VI PENYUSUNAN DAFTAR PEMILIH Bagian Kesatu Data Kependudukan Pasal 32 ayat (1)Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan data kependudukan. Ayat (2) Data kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU paling lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
7. Mengacu pasal di atas memberikan pemahaman, bahwa kependudukan berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah, pertanyaannya adalah Bagaimana KPU Menggunakan Data Kependudukan ?
8. UU No 10 Tahun 2008 BAB VI Bagian Kedua Daftar Pemilih pada Pasal 33 ayat (1) KPU kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih. Ayat (2) Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak memilih.
9. Pertanyaan psikologi hukumnya adalah siapa memberikan nomor induk kependudukan pada KTP pemilih? Pada ayat (3) Dalam penyusunan daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPS. Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan daftar pemilih diatur dalam peraturan KPU.
10. Pertanyaan selanjutnya yang penting secara hukum administrasi negara adalah Bagaimana KPU melakukan pemutakhiran data pemilih BAB VI Bagian Ketiga Pemutakhiran Data Pemilih pada Pasal 34 ayat (1) menyatakan, bahwa KPU kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dari Pemerintah dan pemerintah daerah. Ayat(2) Pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya data kependudukan. Ayat (3) Dalam pemutakhiran data pemilih, KPU kabupaten/kota dibantu oleh PPS dan PPK. Ayat (4) Hasil pemutakhiran data pemilih digunakan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih sementara.
11. Selanjutnya Pasal 35 Ayat (1) Dalam pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), PPS dibantu oleh petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri atas perangkat desa/kelurahan, rukun warga, rukun tetangga atau sebutan lain, dan warga masyarakat.
12. Jelas secarapsikologi hukum dari pasal 35 ayat (1) diatas ujun tombak pemuktakhiran data ada pada perangkat pemerintahan desa/kelurahan sampai dengan RT.Ayat (2) Petugas pemutakhiran data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh PPS.
13. Pertanyaan selanjutnya secara hukum Bagaimana Penyusunan Daftar Pemilih Sementara ? pada BAB VI Bagian Keempat Penyusunan Daftar Pemilih Sementara Pasal 36 Ayat (1) Daftar pemilih sementara disusun oleh PPS berbasis rukun tetangga atau sebutan lain. Ayat (2) Daftar pemilih sementara disusun paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya pemutakhiran data pemilih. Ayat (3) Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat. Ayat (4) Daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), salinannya harus diberikan oleh PPS kepada yang mewakili Peserta Pemilu di tingkat desa/kelurahan sebagai bahan untuk mendapatkan masukan dan tanggapan. Ayat (5) Masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diterima PPS paling lama 14 (empat belas) hari sejak hari pertama daftar pemilih sementara diumumkan. Ayat (6) PPS wajib memperbaiki daftar pemilih sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu.
14. Lebih lanjut Pasal 37 ayat (1) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6) diumumkan kembali oleh PPS selama 3 (tiga) hari untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu. Ayat (2) PPS wajib melakukan perbaikan terhadap daftar pemilih sementara hasil perbaikan berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) hari setelah berakhirnya pengumuman. Ayat (3) Daftar pemilih sementara hasil perbaikan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh PPS kepada KPU kabupaten/kota melalui PPK untuk menyusun daftar pemilih tetap. Ayat (4) PPS harus memberikan salinan daftar pemilih sementara hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada yang mewakili Peserta Pemilu di tingkat desa/kelurahan.
15. Bagaimana penyusunan Daftar Pemilih Sementara ke Daftar Pemilih Tetap? pada BAB VI Bagian Kelima Penyusunan Daftar Pemilih Tetap Pasal 38 Ayat (1) KPU kabupaten/kota menetapkan daftar pemilih tetap berdasarkan daftar pemilih sementara hasil perbaikan dari PPS. Ayat (2) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan basis TPS. Ayat (3) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya daftar pemilih sementara hasil perbaikan dari PPS. Ayat (4) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh KPU kabupaten/kota kepada KPU, KPU provinsi, PPK, dan PPS. Ayat (5) KPU kabupaten/kota harus memberikan salinan daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Partai Politik Peserta Pemilu di tingkat kabupaten/kota.
16. Secara psikologi hukum berdasarkan pasal di atas Daftar Pemilih tetap juga diberikan kepada Partai Politik peserta pemilu Pasal 39 ayat (1) PPS mengumumkan daftar pemilih tetap sejak diterima dari KPU Kabupaten/ kota sampai hari/tanggal pemungutan suara. Ayat (2)Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan KPPS dalam melaksanakan pemungutan suara.
17. Lebih lanjut pada Pasal 40 Ayat (1) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara. Ayat (2) Daftar pemilih tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS, tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar. Ayat (3) Untuk dapat dimasukkan dalam daftar pemilih tambahan, seseorang harus menunjukkan bukti identitas diri dan bukti yang bersangkutan telah terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal.
18. Berdasarkan paparan diatas analisisnya secara normatif adalah bahwa secara hukum administrasi negara ada rentang waktu yang panjang terhadap mekanisme penyusunan daftar pemilih dari daftar pemilih sementara menjadi daftar pemilih tetap, yaitu ada DELAPAN TAHAP: Tahap I Pemutakhiran data pemilih diselesaikan paling lama 3 (tiga) bulan Tahap II Daftar pemilih sementara disusun paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya pemutakhiran data pemilih. Tahap III Daftar pemilih sementara diumumkan selama 7 (tujuh) hari oleh PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat Tahap IV Masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu diterima PPS paling lama 14 (empat belas) hari sejak hari pertama daftar pemilih sementara diumumkan Tahap V Daftar pemilih sementara hasil perbaikan diumumkan kembali oleh PPS selama 3 (tiga) hari untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu. Tahap VI PPS wajib melakukan perbaikan terhadap daftar pemilih sementara hasil perbaikan berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat dan Peserta Pemilu paling lama 3 (tiga) hari setelah berakhirnya pengumuman. Tahap VII Daftar pemilih tetap ditetapkan paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya daftar pemilih sementara hasil perbaikan dari PPS. Tahap VIII Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari/ tanggal pemungutan suara
19. Permasalahannya adalah apakah tahapan-tahapan tersebut telah dilaksanalan secara transparan dan prosedurnya telah dilalui, dan apabila tidak, maka secara hukum adalah pelanggaran administratif dan secara rentang waktu penyelenggara memiliki waktu 5 bulan 3 hari, sedangkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki rentang waktu 6 bulan 27 hari (12 bulan – 5 bulan tiga hari).
20. Kemudian apakah permasalahan DPT dapat digugat ke MK ? Karena DPT adalah pelanggaran Administrasi, maka dikategorikan sebagai Pelanggaran Administrasi Pemilu. sebagaimana dimaksud Pasal 248 s/d 249 UU No 10 Tahun 2008, bahwa pelanggaran administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU.
21. Jadi penyelesaiannya secara secara administrasi, tetapi karena KPU mendapat data kependudukan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, secara psikologi hukum kesalahan sebenarnya tidak bisa hanya ditujukan kepada KPU,tetapi merupakan “manajemen resiko” yang ditanggung bersama oleh pemerintah, pemerintah daerah, PPS, PPK, Partai peserta pemilu dan KPU dengan demikian secara psikologi hukum patut dipertanyakan mengapa setelah pasca pemilu baru dimasalahkan ? solusi terbaik pemilu kedepan adalah sebaiknya menggunakan KTP Nasional yang ditepinya ada kode pilpres, pileg, pilkada provinsi, pilkada kabupaten/kota, dan warga negara yang berhak memilih datang membawa KTP Nasional dan KPPS di TPS tinggal mengecek nama dan nomor NIK KTP, kemudian warga yang sudah memilih KTP-nya dilobangi seperti karcis penumpang kereta api, dan mencelupkan jarinya ke tinta sebagai tanda sudah memilih, oleh karena itu sudah waktunya Pemerintah memprogramkan KTP Nasional.
22. Mengapa persoalan DPT tidak bisa diajukan ke MK, karena berdasarkan Pasal 259 ayat (1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional,Peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi. Ayat (2) Perserta Pemilu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi Sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) Jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional oleh KPU. Ayat (3) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Mahkamah Konstitusi.

Sumber Berita : Turiman Fachturahman Nur, SH, M.Hum, Expert Expert Hukum Tata Negara UNTAN dan pernah menulis Sejarah Hukum Lambang Negara RI sebagai Tesis UI, 1996) dan Dosen Fakultas Hukum UNTAN Pontianak -Kal-Bar, email qitriaincenter@yahoo.co.id, kontak person HP. 08125695414 TURIMAN.

»»  Selengkapnya ...

Photo - Photo Kuliah Umum Jarak Jauh







»»  Selengkapnya ...

Persiapan Pelaksanaan DIES NATALIS ke-50 UNTAN

Pada tanggal 15 April 2009 di Fakultas Hukum UNTAN sedang dilaksanakan rapat persiapan kegiatan DIES NATALIS UNTAN ke - 50 yang acara puncaknya dilakukan pada tanggal 20 Mei 2009. Untuk tahun 2009 ini, Panitia Pelaksana Acara tersebut adalah dari Fakultas Hukum UNTAN. Rapat tersebut dihadiri oleh Rektor Universitas Tanjungpura Pontianak, Bapak Dr. H. Chairil Effendy, MS. Kita berharap agar kegiatan tersebut dapat lebih bermanfaat bagi kita semua. Amin....
»»  Selengkapnya ...

Kilas Balik Sejarah Hukum Daerah Istimewa Kalimantan Barat

DIKB dalam Tataran Sejarah Hukum Ketatanegaraan RI”
Demi kejujuran sejarah dan sikap serta kesadaran sejarah, berikut ini dipaparkan perjalanan sejarah hukum DIKB sampai berdirinya Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat yang setiap tahun diperingati oleh Pemda Prov dan patut disadari bersama oleh anak bangsa adalah suatu kenyataan, bahwa sejarah urusan dengan masa silam, atau kejadian-kejadian yang telah lewat dan tidak mungkin diulang kembali. Penelusuran sejarah memerlukan bukti-bukti sejaman, sebagai suatu “recorde memory” yang sangat penting serta diperlukan dalam pembuktian sejarah. Untuk mengungkapkannya perlu adanya kejujuran dan “kesadaran sejarah”, karena kesadaran sejarah itu adalah sikap kejiawaan atau mental attitude dan state of mind yang merupakan kekuatan moral untuk meneguhkan hati nurani kita sebagai bangsa dengan hikmah kearifan dan kebijaksanaan, dalam menghadapi masa kini dan masa depan dengan belajar dan bercermin kepada pengalaman-pengalaman masa lampau.
Sebagaimana pernah dikutip oleh proklamator kita Bung Karno dari Sir Jhon Seely, seorang sejarahwan Inggris dalam bukunya “The Expansion Of England “History ought surely in some degree to anticipate the lesson of time. We shall all no doubt be wise after the event we study history that we may be wise before the event”, maknanya ialah “bahwa semua kejadian-lejadian di dalam sejarah itu mengandung pelajaran, dan bahwa kita semua selalu menjadi bijaksana setelah ada suatu peristiwa sejarah terjadi” itu adalah logis dan terang Kita tidak boleh akan tertumbuk dua kali kepada tiang yang sama, tetapi justru untuk bijaksana lebih dulu sebelum suatu peristiwa terjadi.
Berikut ini dipaparkan fakta obyektif terhadap sejarah hukum DIKB dalam tataran ketataranegasran Republik Indonesia, bahwa secara yuridis sebelum kemerdekaan bagaimana kedudukan wilayah Kalimantan, ternyata pada zaman pendudukan Jepang seluruh Kalimantan berada dibawah kekuasaan Pemerintah Angkatan Laut Jepang, yaitu Berneo Meinseibu Cokan 1942 Agustus 1945 dan berpusat di Banjarmasin.
Khusus Kalimantan Barat berstatus “Meinseibu Syuu”, sebelum pemulihan kedaulatan Para Raja atau Sultan mencatat “tinta emas” di bumi Khatulistiwa yang kode areanya 0561 yang makna filosofisnya menurut para Ulama atau para wali Allah “bersihkan dirimu dengan Rukun Islam dan Rukun Iman dan kembali ke Tauhid”, dan semangat itulah kemudian berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Berneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja, yakni 1. Swapraja Sambas, Swapraja Pontianak, Swapraja Mempawah, Swapraja Landak, Swapraja Landak, Swapraja Kubu, Swapraja Matan, Swapraja Sukadana, Swapraja Simpang, Swapraja Sanggau, Swapraja Sekadau, Swapraja Tayan, Swapraja Sintang dan Neo Swapraja, yaitu 1 Neo Swapraja Meliau, Neo Swapraja Nanga Pinoh, Neo Swapraja Kapuas Hulu.
Keputusan Gabungan Para Raja atau Sultan di Kalimantan Barat tersebut kemudian mewujudkan suatu ikatan federasi dengan nama “Daerah Istimewa Kalimantan Barat” atau DIKB dan Keputusan itu kemudian secara hukum disahkan Residen Kalimantan Barat dengan surat keputusan tanggal 10 Mei 1948 No 161, pada tahun 1948 keluarlah Besluit Luitenant Gouvernur Jenderal tanggal 2 Mei 1948 No 8 Stabld Lembaran Negara 1948/58 yang mengakui Kalimantan Barat berstatus Daerah Istimewa dengan Pemerintahan Sendiri berserta sebuah “Dewan Kalimantan Barat yang terdiri dari 40 orang anggota dewan legislatif yang terdiri daripada 15 orang wakil swapraja dan neo-Swapraja, 8 orang wakil golongan etnik Dayak, 5 orang wakil etnik Melayu, 8 orang wakil etnik Cina, 4 orang wakil daripada Indo Belanda. Sedangkan pemerintahan DIKB dipimpin Sultan Hamid II selaku kepala daerah dengan wakilnya yaitu Nieuwhusysen yang kemudian digantikan Masjhoer Rifai’i. Dalam menjalankan pemerintahan sehariannya, Sultan Hamid selaku kepala DIKB dibantu oleh sebuah Badan Pemerintah Harian (BPH) yang beranggota 5 orang, yaitu J.C Oevaang Oeray, A.F Korak, Mohamad Saleh, Lim Bak Meng, dan Nieuwhusysen.
Berdasarkan rangkaian ketatanegaraan tersebut di atas, maka tidak benar, bahwa Daerah Istimewa Kalimantan Barat merupakan hasil bentukan Pemerintah Belanda sebagaimana wacana para sejarahwan, mengapa para Raja atau Sultan di Berneo Barat menggabungkan diri kedalam DIKB, karena Kalimantan Barat merasa tidak ikut perjanjian Renville jadi ketika itu jika Kalimantan Barat ingin membentuk negara di luar RI bisa saja dan Sultan Hamid II pernah ditawari oleh Kerajaran Serawak Kucing Malaysia Timur, tetapi Sultan Hamid II tidak mau, itulah semangat nasionalisme Sultan Hamid II yang tak pernah terungkap dalam tataran sejarah negara ini, sama dengan sumbangsih Sultan Hamid II di KMB 1949 dan Perancang Lambang Negara RI, 1950
Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) Sultan Hamid II menjabat sebagai wakil BFO dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Republik Proklamasi 17 Agustus 1945 Yogyakarta bersepakat membentuk RIS atau Republik Indonesia Serikat, pertanyaan kepada sejarahwan, apakah jika Sultan Hamid II tidak pernah menanda tangani hasil KMB Den Haag di Belanda, apakah secara hukum internasional Belanda mengakui kedaulatan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diwakili Mohammad Hatta, mengapa hal ini tidak diangkat sebagai jasa Sultan Hamid II sebagai “strategis politis” bagaimana secara tidak langsung Pemerintah Belanda sebagai penjajah mengakui secara Yuridis Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diwakili Mohammad Hatta, inilah fakta obyektif secara hukum ketatanegaraan mengenai DIKB bagi RI.
Mengapa, sebagai fakta obyektif, karena secara hukum DIKB di dalam Konstitusi RIS 1949 pada Pasal 1 dan penjelasannya jelas dinyatakan sebagai Daerah Bagian bukan negara bagian, atau menurut penjelasan Konstitusi RIS 1949 termasuk dalam perumusan satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri, seperi Dayak Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banjar, jadi sekali lagi secara yuridis ketatanegaran DIKB bukan negara bagian tetapi Satuan Kenegaraan yang berdiri sendiri yang merupakan Daerah Bagian RIS jadi setara dengan Negara Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 yang berkedudukan ibu kotanya di Yogyakarta dan hal ini tidak pernah di angkat secara obyektif dalam menulis sejarah DIKB yang digagas secara brilian para leluhur Raja atau Sultan di Berneo Barat atau Kalimantan Barat yang sepakat mendirikan DIKB.
Jadi secara Hukum Tata Negara DIKB tidak pernah dibubarkan dan jika ketika itu ada demo di Kota Pontianak kepada Sultan Hamid II terhadap DIKB, kemudian hasil demo itu DIKB menjadi bubar adalah sebuah “kebohongan sejarah” secara yuridis ketatanegaraan, karena dengan berbagai demo yang dimotori anak-anak muda salah satunya almarhum Ibrahim Saleh, hal itu karena beda visi dan beda derajad pendidikan dan belum memahami mengapa Para Raja atau Sultan di Berneo Barat sepakat mendirikan DIKB yang didukung oleh Sultan Hamid II yang berkedudukan sebagai Raja Kesultanan Pontianak 1945-1976 dan sebagai Gubernur DIKB jika saat sekarang, karena berbagai kesultanan di Kalimantan Barat masih eksis dan berjalan dan didukung oleh tokoh adat dan masyarakat, dan patut disadari Para Raja atau Sultan memiliki pandangan visioner ke depan, dan saat ini baru kita merasakan, lihatlah dan pembuktian sekian pemekaran Kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat salah satu proposalnya, menyatakan, bahwa Daerah kami bekas Swapraja atau Neo Swapraja sebagai faktor historis yang nota bene adalah bekas wilayah DIKB, secara obyektif fakta hukum ini tidak pernah diangkat oleh sejarahwan.
Alasan yang digunakan para pendemo Sultan Hamid II ketika berkunjung ke Pontianak adalah, karena Sultan Hamid II beristeri Belanda keponakan Wihelmena, dan dianggap DIKB sebagai sisa peninggalan pemerintahan Belanda, pertanyaannya untuk sejarahwan secara hukum tata negara, apakah secara yuridis DIKB yang didirikan oleh Para Raja atau Sultan Di Kalimantan Barat berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Berneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L yang dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja dan kemudian diakui secara konstitussional pada Pasal 1 Kontitusi RIS 1949 adalah sisa peninggalan pemerintahan Belanda, ini adalah sangat naïf jika dipahami oleh sejarahwan tanpa melakukan analisis pendekatan Sejarah Hukum Ketatanegaran Pemerintahan berdasarkan fakta hukum yang dikonstruksi secara obyektif tentang DIKB.
Secara obyektif desakan demo kepada Sultan Hamid II tentang DIKB dibubarkan, karena perbedaan visi antara kaum muda dimotori kepentingan politis yang tak mengerti pandangan Para Raja atau Sultan saat itu dan Pandangan dari Sultan Hamid II terhadap maksud didirikan DIKB, coba kita baca secara lengkap Pledoi Sultan Hamid II pada Sidang Mahkamah Agung tanggal 23 Maret 1953, mengapa Pandangan Sultan Hamid II terhadap maksud pendirian DIKB tidak diangkat kepermukaan oleh sejarahwan, tulislah sejarah secara obyektif dengan fakta historis yuridis jika akan mengangkat sejarah Tata Pemerintahan yang berkaitan dengan DIKB, bangunlah fakta sejarah dengan konstruksi sejarah hukum melalui analisis obyektif serta bukti sejaman.

Apakah DIKB “pernah bubar” secara Hukum Tata Negara?
Untuk mengatasi “crucial point” atas desakan itu, maka berdasarkan Keputusan Dewan Kalimantan Barat tanggal 7 Mei 1950, masing-masing nomor 234/R dan 235 baik Badan Pemerintahan Harian DIKB maupun penjabat Kepala Daerah DIKB menyerahkan wewenangnya kepada Pemerintah Pusat RIS yang diwakili oleh seorang Pejabat yang berpangkat Residen, jadi tidak ada Pembumbaran oleh Dewan Kalimantan Barat terhadap status hukum DIKB, karena memang DIKB secara konstitusional diakui secara hukum ketatanegaraan berdasarkan Pasal 1 Konstitusi RIS 1949.
Selanjutnya untuk menampung ini Menteri Dalam Negeri RIS dengan surat Keputusan 24 Mei 1950 No B. Z 17/2/47 ditetapkan hak-hak dan kewajiban pemerintahan yang diserahkan tersebut untuk sementara dijalankan oleh seorang Residen Kalimantan Barat yang berkedudukan di Pontianak berdasarkan Pasal 54 Konstitusi RIS, jadi DIKB status hukum belum bubar, hanya diambil alih oleh Residen Kalimantan Barat berdasarkan Kontitusi RIS pasal 54, mengapa hal ini juga tidak diangkat oleh sejarahwan, bahkan menyatakan terlalu berani, menyatakan bahwa DIKB telah bubar, dari mana dasar hukumnya dari sisi Hukum Tata Negara, hati-hati seorang sejarahwan telah melakukan “kebohongan sejarah” dan melukai “suarahati” para leluhur yang nota bene para Raja dan Sultan di Kalimantan Barat yang bergabung di dalam DIKB ketika itu dan para keturunan telah membentuk ikatan persatuan para Raja se Indonesia/Nusantara, sejarahwan tersebut bisa diklaim telah melakukan “kebohongan sejarah DIKB” dan obyektiflah dalam menulis sejarah tanyakan kepada ahlinya jika tidak mengetahui, sebagai pesan Rasulullah SAW kepada para sahabat.
Pada Tahun 1950 keluarlah Peraturan Pemerintah RIS No 2/1950 tanggal 4 Agustus 1950 yang menetapkan bahwa seluruh Kalimantan kecuali Daerah Jajahan kerajaan Inggris menjadi satu daerah Provinsi administrative.Dengan demikian, secara Hukum Tata Negara Kalimantan Barat secara administrative merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan dibawah pemerintahan Gubernur yang berkedudukan di Banjarmasin dan berarti juga bahwa Kalimantan tanpa Kalimantan Barat yang berstatus DIKB yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia yang terdiri dari Daerah Bagian Kalimantan Timur dengan Keputusan Presiden RIS No 127 tanggal 24 Maret 1950, Banjar dengan Keputusan Presiden RIS No 13 Tanggal 4 April 1950, Dayak Besar dengan Keputusan Presiden RIS 138 tanggal 4 April 1950 dan Kota Waringin dengan Keputusan Presiden RIS No 140 Tanggal 4 April 1950 menggabungkan diri dengan Negara Bagian Republik Indonesia 17 Agustus 1945 Yogyakarta dan Pemerintah RIS mengangkat seorang Gubernur sebagai penjabat Pemerintah yang tertinggi atas wilayah hukum seluruh Kalimantan, terkecuali Kalimantan Barat sebagai DIKB, dan kedudukan Residen di Pontianak bersama Residen Banjarmasin dan Samarinda dihapus atau diambil alih oleh Gubernur, yaitu dibawah Gubernur yang baru dengan sebutan masing sebagai Residen Koordinator.
Pertanyaan untuk sejarahwan, apakah DIKB secara Hukum Tata Negara “bubar” berdasarkan Konstitusi RIS 1949, secara obyektif berdasarkan fakta hukum, bukan fakta hasil demo ketika Sultan Hamid II berkunjung ke Pontianak, DIKB tidak pernah bubar dan fakta hal inilah yang seharusnya direkonstruksi kembali oleh sejarahwan Kal-Bar dengan pendekatan sejarah hukum agar lebih obyektif dan ilmiah .
Perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia kemudian memasuki UUDS 1950 yang berbentuk negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950, maka secara konstitusi DIKB sebagai Daerah Bagian RIS atau sebagai Kesatuan kenegaraan berdasarkan Pasal 1 Konstitusi RIS 1949 hapus, sedang hak dan kewajiban Pemerintahan yang dijalankan oleh DIKB jatuh kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dibawah UUD 1950, tetapi Residen tinggal di pos Pontianak sebagai Pegawai Pejabat Pemerintahan Negara Kesatuan, artinya para Pejabat dimasa DIKB berubah status sebagai pegawai atau Pejabat Pemerintah Negara Kesatuan dan Pak Jimmi Ibrahim salah satunya.
Dengan demikian DIKB yang pernah dirikan berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Berneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L yang dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja menjadi hapus secara konstitusional, sedangkan hak-hak dan kewajiban pemerintah dikembalikan kepada anggota-anggota federasi DIKB dan fakta hukumnya para Raja menjadi pejabat atau pegawai Pemerintahan Negara Kesatuan dibaeah UUDS 1950.
Pada tahun 1951, keluarlah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Tanggal 8 September 1951 No Pem 20/6/10 yang menyatakan, bahwa yang mencakup segala ketentuan pembagian secara administrative Daerah Kalimantan Barat atau DIKB, yang dahulu dikenal dengan “Residentie Westerafdeling van Berneo” dan menjadi Daerah Kalimantan Barat dibagi menjadi 6 enam Daerah Kabupaten administrative, yakni 1 Kabupaten Pontianak, 2 Kab Ketapang, 3, Kab Sambas, 4 Kabupaten Sintang, 5 Kabupaten Sanggau, 6 Kabupaten Kapuas Hulu dan sebuah daerah Kota Administratif Pontianak.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka Kalimantan Barat yang dahulu DIKB menjadi bagian Provinsi Administratif Kalimantan dan dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di Pontianak yang merupakan subordinee kepada Gubernur Kalimantan yang berkedudukan di Banjarmasin, Jadi secara Hukum Tata Negara Residen Kalimantan Barat di Pontianak bukan seorang Residen pendukung hak dan tugas sendiri, melainkan hanya melaksanakan tugas koordinator saja dengan sebutan “Residen Koordinator” dan hal ini tidak pernah diangkat sebagai fakta sejarah hukum DIKB.
Terbentuknya Daerah Otonom Provinsi Kalimantan BaratPada Tahun 1953 keluarlah UU Darurat No 2 Tahun 1953 yang mulai berlaku dari tanggal 7 Januari 1953 yang mengacu atau berdasarkan UU No 2 Tahun 1948. UU Darurat tersebut pada Pasal 1 UU itu menyatakan, bahwa Daerah Provinsi Kalimantan yang bersifat administrative seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah RIS No 21/1950 yaitu dimaksudkan disini adalah DIKB yang kemudian dibentuk sebagai Daerah Otonom Provinsi Kalimantan yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri.
Pada Tanggal 7 Januari 1953 UU Darurat No 2 Tahun 1953 Tentang Pembentukan Resmi Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten/Kota Besar dalam Lingkungan Daerah Provinsi Kalimantan Barat.Kemudian untuk melaksanakan UU Darurat No 2 Tahun 1953 Pemerintah RI mengeluarkan UU No 27 Tahun 1959 yang disyahkan pada tanggal 26 Juni 1959 dan patut diketahui, bahwa pada tahun 1956 sebelumnya daerah-daerah otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur mencabut UU Darurat No 2 Tahun 1953. Ini berarti secara Hukum Tata Negara, bahwa UU No 25 Tahun 1956 ini memecah Provinsi Kalimantan menjadi 3 tiga Provinsi Otonom dan UU No 25 Tahun 1956 selalu menjadi konsideran hukum atau alas hukum pada angka 1 (satu) pembentukan PERDA sampai saat ini dan wajib dicantumkan pada PERDA Provinsi Kal-Bar.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No Des 52/10/56 tanggal 12 Desember 1956 ditetapkan UU tersebut yang mulai berlaku pada 1 Januari 1957. Dengan demikian secara “de jure” atau secara Hukum Tata Negara sejak pada tanggal 1 Januari 1957 atau secara yuridis formal Kalimantan Barat menjadi Daerah Otonom Provinsi, oleh karena sangat tepat apabila HUT Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat tepat pada tanggal 1 Januari setiap tahun, walaupun secara “de fakto” di Banjarmasin diselenggarakan timbang terima dari Gubernur/Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Adapun wilayah Kalimantan Barat yang dahulu wilayah DIKB ini meliputi daerah swatantra Kabupaten Sambas, Pontianak sebagaimana ditetapkan oleh UU Darurat No 3 Tahun 1953 demikian yang dipaparkan pada risalah Tanjungpura Berjuang, 1970, oleh SENDAM XII/Tanjungpura.
Mengacu pada paparan sejarah hukum ketetanegaraan DIKB sampai dengan terbentuknya Provinsi Kalimantan Barat, maka secara fakta hukum tata negara DIKB tidak pernah dibubarkan sampai dengan diberlakukan UUDS 1950 pada tanggal 17 Agustus 1950 dan keberadaan DIKB secara Konstitusional berdasarkan pasal 1 Konstitusi RIS 1949 tak pernah dibubarkan secara hukum tata negara.
Sekalilagi patut disadari bersama oleh anak bangsa adalah suatu kenyataan, bahwa sejarah urusan dengan masa silam, atau kejadian-kejadian yang telah lewat dan tidak mungkin diulang kembali. Penelusuran sejarah memerlukan bukti-bukti sejaman, sebagai suatu “recorde memory” yang sangat penting serta diperlukan dalam pembuktian sejarah. Untuk mengungkapkannya perlu adanya kejujuran dan “kesadaran sejarah”, karena kesadaran sejarah itu adalah sikap kejiwaan atau mental attitude dan state of mind yang merupakan kekuatan moral untuk meneguhkan hati nurani kita sebagai bangsa dengan hikmah kearifan dan kebijaksanaan, dalam menghadapi masa kini dan masa depan dengan belajar dan bercermin kepada pengalaman-pengalaman masa lampau.
Itulah hikmah kearifan dan kesadaran sejarah. Pernyataan itu selaras dengan ungkapan bersayap, bahwa sejarah harus dijadikan motor penggerak bagi hari depan suatu bangsa, dan hanya bangsa yang besarlah yang mau menghargai sejarah bangsanya, “Tanpa ingatan akan sejarahnya dimasa yang lampau setiap bangsa tidak mengerti arti sejarahnya hari sekarang dan tidak akan mempunyai pegangan untuk hari depannya” demikian yang dinyatakan Roeslan Abdul Gani, dalam buku “Arsip Dan Kesadaran Sejarah, 1979 halaman 2.
Semoga Allah memberikan rahmat dan pembuktian nyata kepada siapa saja yang melakukan “kebohongan-Kebohongan sejarah”, dan ampunan dari Allah terbuka lebar bagi manusia dan semoga Para Raja atau Sultan yang pernah mengungkir tinta emas berdirinya Daerah Istimewa Kalimantan Barat/DIKB di bumi Khatulistiwa Kalimantan Barat mendapat balasan dan akhirnya pengamatan terhadap sikap dan perilaku seseorang tetaplah menjadi sesuatu yang belum pasti. Biarlah hal ini tetap menjadi misteri dan hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui niat para Raja atau Sultan ketika mendirikan DIKB yang ternyata saat ini banyak mengandung manfaat dalam perjalanan sejarah pemerintahan daerah di Kalimantan Barat, yaitu pengulangan sejarah DIKB dalam bentuk lain, yaitu Perjuangan Pemekaran berbagai Kabupaten di wilayah Provinsi Kalimantan Barat kepada Pemerinatah RI dengan mengulangi bekas swapraja dan neo swapraja DIKB yang berjumlah 12 Swapraja dan 3 Neo Swaprja, jadi kita berhak untuk melakukan pemekaran kabupaten menjadi 15 Kabupaten di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat, selamat berjuang DIKB dalam bentuk lain.


Sumber Berita : Turiman Fachturahman Nur, SH, M.Hum, Expert Expert Hukum Tata Negara UNTAN dan pernah menulis Sejarah Hukum Lambang Negara RI sebagai Tesis UI, 1996) dan Dosen Fakultas Hukum UNTAN Pontianak -Kal-Bar, email qitriaincenter@yahoo.co.id, kontak person HP. 08125695414

TURIMAN
»»  Selengkapnya ...

Selasa, 14 April 2009

SULTAN HAMID II Adalah Perancang Lambang Negara RI

Sepanjang orang Indonesia, siapa tak kenal burung garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila)? Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu?
DIA adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab --walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak --keduanya sekarang di Negeri Belanda.
Syarif menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.
Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalbar dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA.
Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar - karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.
Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat marah.
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".
Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.
AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini.
Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1940, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 4 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Turiman SH Mhum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. "Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999," akunya.
Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan).
Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada 19 Agustus 1999. "Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II," katanya pasti.(efprizan/jpnn)
Sepanjang sejarah orang Indonesia, siapa tak kenal burung garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila)? Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu Photo sebelah kiri adalah Sultan Hamid II Perancang Lambang Negara "Garuda Pancasila", gambar di tengah adalah desain awal lambang Garuda Pancasila, dan gambar paling kanan adalah gambar Garuda Pancasila yang digunakan sampai sekarang Dan Turiman Fachturahman Nur telah membuktikan dalam Tesis yang berjudul “Sejarah Lambang Negara Republik Indonesia”, yang dipertahankan di Univ Indonesia membuktikan siapa perancang Lambang Negara RI. Pada 19 Agustus 1999.



Sumber Berita : Turiman Fachturahman Nur, SH, MHum, Expert Psikologi Hukum dan HTN UNTAN dan Dosen Fakultas Hukum UNTAN Pontianak -Kal-Bar, email qitriaincenter@yahoo.co.id, contak person Hp 08125695414

»»  Selengkapnya ...

Kuliah Umum Jarak Jauh V (Mahkamah Konstitusi RI - FH Seluruh Indonesia)

Diberitahukan kepada Dosen / Mahasiswa / Civitas Akademika Fakultas Hukum UNTAN, sehubungan dengan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI akan menyelenggarakan Kuliah Umum Jarak Jauh Program Doktor (S3) secara on-line ke 34 Fakultas Hukum seluruh Indonesia, dengan menghadirkan narasumber langsung dari MKRI Jakarta, maka kami akan mengundang Bapak / Ibu untuk dapat menghadiri acara tersebut pada :

Hari / Tanggal : Rabu, 15 April 2009
P u k u l : 12.00 WIB – 15.30 WIB
T e m a : Hukum & Konstitusi (Lanjutan)
P e m b i c a r a : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD., SH.
T e m p a t : VIDEO CONFERENCE Function Hall - FH UNTAN

Demikian informasi ini kami sampaikan sebagai undangan, atas perhatian dan kerjasamanya Bapak / Ibu, diucapkan terima kasih.
»»  Selengkapnya ...