Kamis, 07 Mei 2009

UU BHP & UU SISDIKNAS Memprivatisasi Pendidikan

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), Kamis (30/4), di MK. Sidang mengagendakan Mendengarkan Keterangan Pemerintah dan DPR, Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Semula pengujian UU Sisdiknas dan UU BHP teregistrasi di Kepaniteraan MK oleh oleh dua Pemohon dengan nomor perkara yang berbeda. Perkara nomor 11/PUU-VII/2009 diajukan oleh Aep Saepudin, Kristiono Iman Santoso, Sandi Sahrinnurrahman, S.Tp., Mega Yulianan Lukita BT Luki, Dai, A. Shalihin Mudjiono, Eruswandi, Utomo Dananjaya, RR. Chitra Retna S, dan Yanti Sriyulianti dengan kuasa hukum Gatot Goei, S.H., dkk. Sedangkan untuk Perkara nomor 14/PUU-VII/2009 diajukan oleh Aminuddin Ma’ruf dengan penambahan Pemohon yakni Nouval Azizi dan Bagus Ananda. Kedua Pemohon tambahan ini masing-masing berstatus sebagai mahasiswa UNJ dan UI.
Namun pada 1 April 2009, MK meregistrasi Perkara Nomor 21/PUU-VII/2009 yang juga memohon pengujian UU BHP dan UU Sisdiknas. Perkara ini dimohonkan oleh sembilan Pemohon yang terdiri dari elemen mahasiswa, orangtua siswa, dan beberapa badan hukum yang bergerak dalam bidang pendidikan dengan kuasa hukum dari Tim Advokasi Koalisi Pendidikan.
Pemerintah yang diwakili oleh Sekjen Depdiknas Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, M.S. mengemukakan bahwa pendidikan nasional mengamanatkan perlu diadakannya pendidikan manajemen berbasis sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menengah serta otonomi PT. Untuk mewujudkan amanat tersebut, dalam Pasal 53 UU Sisdiknas menyatakan bahwa pendidikan nasional mewajibkan negara atau satuan pendidikan formal untuk berbentuk badan hukum pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersifat nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri, untuk memajukan pendidikan.
“Pengaturan BHP adalah bentuk implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindari kewajiban dan tanggung jawab negara di bidang pendidikan sehingga memberatkan masyarakat,” jelasnya.
Selain itu, menurut Dodi, pasal-pasal yang diajukan Pemohon Perkara Nomor 21/PUU-VII/2009 tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena asas pendidikan nasional tidak terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 seperti yang dimohonkan Pemohon. Akan tetapi, norma tersebut terdapat dalam Pasal 31 UUD 1945. Dodi pun menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak dapat di-judicial review.
Dodi juga menjelaskan bahwa UU Sisdiknas merupakan wujud amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 31 UUD 1945. “Semangat BHP memang berencana untuk menuju seperti sistem pendidikan di negara lain seperti di AS yang menggratiskan biaya pendidikan. Sebagai buktinya, pendidikan gratis diaplikasikan pasca UU BHP disahkan,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR Prof. Dr. Anwar Arifin DPR mengungkapkan bahwa UU BHP dan UU Sisdiknas dirancang sesuai UUD 1945. Menurut Anwar, pendidikan tetap menjadi tanggung jawab negara, tetapi dengan partispasi masyarakat. “Pendidikan bukan sepenuhnya tanggung jawab negara. Masyarakat tetap harus ikut berpartisipasi. Hal ini karena dalam sejarah pendidikan Indonesia dimulai dari masyarakat,” tandasnya.
Sementara itu, kuasa hukum Pemohon, Taufik Basari mengungkapkan jika UU BHP tetap dipertahankan, maka pendidikan yang seharusnya menjadi barang publik menjadi barang privat. “Jika hal itu terjadi, pendidikan tidak dapat diakses dan tidak dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena tu, Pemerintah tidak boleh melepas tanggung jawabnya,” tegas Taufik.
Sidang selanjutnya akan mendengarkan Saksi/Ahli dari Pemohon. (Lulu A.)
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF

0 comments: