Selasa, 09 Maret 2010

Materi Kuliah Konstitusi & Suara Konstitusi : Oleh Hamdan Zoelva (Hakim Konstitusi)

Wewenang MK Dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan /atau Wakil Presiden Menurut UUD.


Pasal 7A

Presiden dan /atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan /atau Wakil Presiden. ***)

Pasal 7B

(1) Usul pemberhentian Presiden dan /atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan /atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan /atau Wakil Presiden. ***)


(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan /atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)


(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ***)

(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. ***)

(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan /atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan /atau terbukti bahwa Presiden dan /atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan /atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan /atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***)


(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. ***)

(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan /atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan /atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***)

Pasal 24C
(1) ……...
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan /atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. ***)
(3) ………
(4) ………
(5) ………
(6) ………

Ada pendapat yang salah atau mungkin belum tersampaikan dengan baik di masyarakat bahwa seolah jika ada proses impeachment di MK, maka putusan MK itu secara otomatis akan bisa menurunkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya. Masyarakat perlu memahami bahwa ada pengertian yang berbeda antara proses pemakzulan dengan proses di MK yang vonisnya hanya menyatakan pendapat DPR itu benar atau tidak, saja. Sementara proses pemakzulan itu sendiri sepenuhnya menjadi wewenang MPR untuk melaksanakannya atau tidak, setelah sebelumnya ditempuh proses politik di DPR dan proses hukum di MK.

Bagaimana sebenarnya sejarah / latar belakang munculnya gagasan pemakzulan itu? Mengapa perlu diatur mekanisme pemakzulan? Bagaimana perbandingan mekanisme pemakzulan di Indonesia dengan negara lain?

1. Dua Presiden RI pernah mengalami pemakzulan (impeachment) oleh DPR, yaitu Soekarno dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mereka dijatuhkan oleh parlemen melalui proses politik. Namun kini, usai dilakukan perubahan UUD 1945, proses impeachment harus melalui palang pintu hukum, yaitu MK. Hal-hal apa saja yang bisa menyeret Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada proses impeachment? Bagaimana sebenarnya sejarah impeachment itu sendiri, apakah Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 diilhami dari kedua proses di atas atau juga dipengaruhi oleh pelaksanaan di negara lain?

2. Perdebatan apa yang penting di Panitia Ad Hoc I yang kala itu bertugas mengubah UUD, khususnya ketika membahas pasal-pasal tentang pemakzulan ini?

3. Apakah “pendapat DPR” itu merupakan hasil dari pelaksanaan anggota DPR dalam melakukan “hak menyatakan pendapat”? Berapa banyak dukungan Anggota DPR yang harus dikumpulkan untuk “meloloskan” pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melanggar konstitusi?

4. Jika terbukti melakukan pelanggaran, mengapa pemutus akhir berada di tangan MPR (putusan politik) bukannya MK, karena justru di MK-lah kebenaran hukum itu ditemukan dan dirumuskan melalui putusannya?

5. Terkait dengan beberapa ketentuan hukum acara yang belum diatur dalam undang-undang MK, maka MK mengeluarkan Peraturan MK tentang Impeachment. Apa saja yang diatur dalam PMK tersebut? Nantinya Presiden dan/atau Wakil Presiden disebut sebagai apa? Siapa yang menjadi penuntut? Apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir dalam persidangan? dan hal-hal proses beracara yang penting lainnya.



Hari : Selasa, 12 Januari 2010

Pukul : 16.00 – 17.00 WIB (Kuliah Konstitusi) 17.00 – 18.00 WIB (Suara Konstitusi)

0 comments: