Pandangan Pemerintah tentang Usulan PerubahanAtas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Oleh
A. Pendahuluan
Pasal 1Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan “Perkawinan adalahikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suamiisteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekalberdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”.
Tujuan perkawinandalam undang-undang perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dankekal. Untuk itu, suami isteri perlusaling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkankepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material. Olehkarena itu, seluruh anggota keluarga (termasuk kepala keluarga) perlu memahamidan rasa pengertian akan hak dan pelaksanaan kewajiban antar anggota keluarga,sehingga tercipta keluarga yang harmonis sesuai dengan tanggungjawabmasing-masing anggota keluarga.
Untuk mencapai tujuan perkawinan yang demikian makaundang undang menjamin persamaan hak bagi pria dan perempuan dalam kehidupanrumah tangga. Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Perkawinanmenyatakan ” Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dankedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidupbersama dalam masyarakat”. Prinsip yang demikian seharusnya tiap perkawinan (rumahtangga) yang dibentuk mendatangkan kebahagiaan bagi para pihakyang terkait di dalamnya.
B. Sejarah singkatLahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Di Indonesiasebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, telahberlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara danberbagai daerah yaitu :
1. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragamaIslam berlaku Hukum Agama Islam yang telah diresiplir dalam Hukum Adat
2. Bagi orang-orang IndonesiaAsli lainnya berlaku Hukum Adat
3. Bagi orang-orang IndonesiaAsli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Cristen Indonesia (Stb.1933 No. 74)
4. Bagi orang Timur Asing Cinadan WNI keturunan Cina berlaku ketentuan ketentuan Kitab Undang-undang HukumPerdata dengan sedikit perubahan.
5. Bagi orang Timur Asing lainnya dengan WNIKeturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat
6. Bagi orang Eropa dan WNIketurunan Eropa dan yang disamakan berlaku kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Adanya hukum perkawinan yang berbeda-beda dan bersifat pluralistik tersebutdisebabkan adanya pembagian rakyat Indonesia menjadi berbagai golongan pendudukberdasarkan IS Pasal 131 dan 163 yang berlangsung sejak masa penjajahan.
Setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 secara efektiftanggal 1 Oktober 1975, ketentuan-ketentuan tentang perkawinan yang diaturdalam kitab Undang-undang Hukum Perdata, Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen(HOCI), Peraturan Perkawinan Campuran (Stb. 1998 No. 158) danperaturan-peraturan lain sepanjang telah diatur dalam Undang-undang Perkawinandinyatakan tidak berlaku (Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan). Sebagai Unifikasihukum, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ini menghormati secara penuh adanyavariasi berdasarkan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 dan 2 ayat (1))
Usaha pemerintah untuk memiliki Undang-undang Perkawinan tersendiri telahdirintis sejak tahun 1950. Pada tahun 1950 Pemerintah mengeluarkan Surat KeputusanMenteri Agama No. B/2/4229, tanggal 1Oktober 1950 dibentuk panitia PenyelidikPeraturan dan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk bagi Umat Islam. Sementara ituberbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar secepat mungkinmerampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-Undang yang masuk Ke DPR.
Pada akhir tahun1952, panitia yang sempat mengalami perubahan dan tambahan melalui SK MenteriAgama Nomor B/2/8315 tanggal 1-4-1951 ini telah berhasil menyusun RancanganUndang-Undang (RUU) Perkawinan (Umum). RUU tersebut oleh golongan-golonganagama ditanggapi sebagai undang-undang yang bersifat umum, dan dikehendakiRancangan Undang-Undang Perkawinanmenurut masing-masing agama, maka disepakati adanya : a) RancanganUndang-Undang Perkawinan menurut Agama Islam; b) Rancangan Undang-UndangPerkawinan menurut Agama kristen; c). Rancangan Perkawinan menurut AgamaKatolik; dan d). Rancangan Undang-Undang Perkawinan menurut golongan lainnya.[1]
Pada bulan Maret1954, Rancangan Undang-Undang PerkawinanUmat Islam telah selesai disusun dan tanggal 19 Juni 1958 RancanganUndang-Undang Perkawinan tersebut diajukan ke DPR sebagai usulan inisiatifpemerintah. Namun bersamaan dengan itu, muncul Rancangan Undang-Undang Perkawinan(Umum) atas usul inisiatif Sumari (PNI).Kedua RUU itu bertolak belakang, satu berdasarkan agama,dan yang lainnya berdasarkan faham sekuler. Akantetapi, kedua Rancangan Undang-UndangPerkawinan tersebut tidak menjadiundang-undang
Tahun 1967pemerintah mengajukan lagi dua buah RUU Perkawinan kepada DPRGR: a). RUU tentang Pernikahan Umat Islam,diajukan oleh Menteri Agama bulan Mei 1967; b). RUU tentang Ketentuan Pokok Perkawinan,diajukan oleh Menteri Kehakiman bulan September 1967. Tahun 1968, kedua RUUtersebut dibicarakan DPRGR, akan tetapi tidak mendapat persetujuan DPRGR. Pemerintah menarik kembali kedua RUUtersebut. Karena tidak mendapat persetujuan DPRGR, pemerintah menyiapkan RUUPerkawinan yang baru, dan pada tanggal 31-7-1973 RUU Perkawinan yang terdiri 15bab dan 75 pasal diajukan kepada DPR hasil Pemilu 1971.[2]
RUU Perkawinan ini mendapatkan reaksi dari kalangan umat Islam, karenabeberapa pasaL yang bertentangan dengan hukum Islam, antara lain: a). Perkawinanadalah sah apabila dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatdalam daftar pencatatan perkawinan oleh pegawai tersebut dan dilangsungkanmenurut ketentuan Undang-undang ini dan atau atas ketentuan hukum perkawinanpihak-pihak yang melaksanakan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan denganUndang-undang ini (psl. 2 ayat 1); b). Pengadilan dalam lingkungan PeradilanUmum, selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Pengadilan dapat memberi izinkepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendakioleh pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal. 3 ayat (2)); c). Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa,negara asal, tempat asal, agama/kepercayaan dna keturunan tidak merupakanpenghalang perkawinan (Pasal 11 ayat(2)); d). Bagi janda wanita ditetapkanjangka waktu tunggu 306 hari, kecuali kalau ternyata dia sedang mengandung,dalam hal mana waktu tunggu ditetapkan sampai 40 hari sesudah lahirnya anak(Pasal 12 ayat 1); e). Suami isteribersama-sama dapat mengangkat seorang anak atau lebih (Pasal 62 ayat (1)).[3]
Pada tanggal 27 September 1973 Pemerintah dan DPR mengadakan musyawarahmencari kesepakatan untuk menyempurnakan RUU Perkawinan tersebut. Setelahmelalui perdebatan yang hangat di DPR dan tanggapan yang panas dari masyarakatIslam terhadap RUU Perkawinan yang bersifat sekuler itu, akhirnya Fraksi ABRIdan Fraksi Persatuan Pembangunan dalam pertemuannya telah membentuk konsensus,antara lain: a). Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangiataupun dirubah; b). Sebagai Konsekwensidari poin 1, maka alat-alat pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau dirubah,tegasnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 dan Undang-Undang Nomor 14 tahun1970 dijamin kelangsungannya; c). Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islamdan tidak mungkin disesuaikan dalam undang-undang ini dihilangkan.
Tanggal 22 Desember 1973, setelah mengalami perubahan dan amandemen, RUUPerkawinan disahkan oleh DPR menjadi UU, dan selanjutnya tanggal 2 Januari 1974diundangkan oleh Presiden menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (LNRI 1974Nomor 1). Berdasarkan Pasal 67 ayat (1)Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikeluarkannya PeraturanPemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan yang merupakan pelaksanaan secara efektif Undang-undangPerkawinan dan berlaku tanggal 1 Oktober 1975.
C. Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinandan Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telahberusia 37 tahun. Dalam rentang waktu yang sedemikian lama dan panjangtersebut, ada tuntutan persamaan hak antara hak laki-laki dan perempuan yang terus menerus diperjuangkan di Indonesia. Dalamhukum adat seorang perempuan tidak mempunyai posisi tawar menawar yang kuat.Simbol-simbol yang ada melambangkan perempuan menjadi “pelayan/mengabdi padasuami”. Agama Hindu juga menentukan syarat dan sahnya perkawinan untukmemperoleh anak. Dalam agama Budha perbedaan jender secara tegas terdapat padaikrar isteri yang baik, setia, mengabdi pada suami dalam susah dan senang,serta taat pada petunjuk-petunjuk suami untuk menjadi ibu yang baik. AgamaKristen Protestan mengikuti hukum negarauntuk sahnya perkawinan.[4]
Salah satu kebijakan negara adalah dirumuskannyakesetaraan jender dalam bidang hukum. Namun, dalam kenyataannya hukum perkawinanbelum memberikan kesetaraan jender, sehingga merugikan perempuan. Tidak jarangkita menjumpai perkawinan yang berakhir dengan perceraian. Banyak faktor yangdapat menjadi penyebab bagi keretakan suatu rumah tangga, seperti tidak adanyaketurunan (anak), ketidakcocokan satu dengan lainnya, perselingkuhan, masalahekonomi, kekerasan yang dilakukan salah satu pihak kepada pihak lainnya, danlain-lain. Salah satu penyebab perceraian, yaitu kekerasan satu pihak kepadapihak lain, cukup banyak kita temui dalam lingkungan sekitar kita.
HasilSusenas 2006 yang dilakukan oleh BPS bekerjasama dengan Kementerian NegaraPemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan bahwa prevalensinasional perempuan yang menjadi korban adalah 3,07 % dan anak 3, 02 %. Hal iniberarti bahwa dari 10.000 perempuan di seluruh Indonesia, sebanyak 307diantaranya pernah mengalami kekerasan dan dari 10.000 anak di seluruhIndonesia 302 anak diantaranya pernah mengalami kekerasan. Angka prevalensitertinggi dari seluruh daerah adalah Provinsi Papua dengan angka 13,6 %. Halyang lebih memprihatinkan adalah kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anaktersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga, dalam sebuah kehidupan perkawinan[5].
Kondisiini juga didukung oleh Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2009 yang menyebutkanbahwa 95 % kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga. Komnas perempuan dalamlaporan mereka menyebutkan bahwa peningkatan kasus kekerasan yang mencapai 263% tersebut di data dari Pengadilan Agama yang selama ini mengurus perceraian perkawinan di Indonesia[6].Berdasarkan hasil laporan juga disebutkan bahwa masalah kekerasan dalam rumahtangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan dankurangnya pemahaman perempuan tentang hak-hak mereka dalam sebuah perkawinan.
Di lain pihak, dalam kurun waktu tersebutPemerintah Indonesia bertransformasimenuju negara yang menjungjung hak asasi manusia (HAM). Hal ini bisa dilihatdari Naskah Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 yang memuat ketentuan hak asasi manusia. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebenarnya berasal darirumusan Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu Undang-UndangNomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-UndangDasar diperluas dengan memasukkan elemen baru yang bersifat menyempurnakanrumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakupketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka rumusan hakasasi manusia dalam Undang-Undang Dasar dapat mencakup empat kelompok materi yaitu:[7]a). kelompok hak-hak sipil; b). kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya;c). kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan; dan d). tanggungjawabnegara dan asasi manusia.
Selain itu, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen hakasasi manusia, seperti meratifikasi Convention on the Elimination of AllForms of Discrimination agaisnt Women (CEDAW, 1979)), melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Segala Bentuk Diskriminasiterhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination agaisnt Women), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), Undang-Undang Nomor11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Socialand Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial,dan Budaya) dan lain-lain.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia(DUHAM, 1948) mendefinisikan HAM secala luas dengan tujuan agar manusia seduniamenghormati kemanusiaan secara luas. Dalam deklarasi tersebut tidak banyak yangdinyatakan tentang perempuan, tetapi artikel 2 memuat bahwa hak dan kebebasanperlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak melakukandiskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Apabila artikel 2 ditinjau berdasarkanpengalaman perempuan, pelanggaran hak perempuan seperti tindak kekerasanterhadap perempuan dan perkosaan mudah diinterpretasikan sebagai tindakan yangdilarang (no one shall be subject to torture or to cruel, in human ordegrading treatment or punishment).
D. RANHAM sebagaiUpaya Penghormatan, Pemajuan, Pemenuhan, Perlindungan, dan Penegakan Hak AsasiManusia
Rencana AksiNasional Hak Asasi Manusia yang selajutnya disingkat RANHAM adalah rencana aksiyang disusun sebagai pedoman pelaksanaanpenghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan, dan penegakan HAM diIndonesia.[8]
RANHAM merupakankomitmen negara Republik Indonesia yang bertujuan memperkuat sistem hukumnasional sekaligus dalam rangka penghormatan,pamajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM baik di pusat maupun daerah di seluruhIndonesia dengan memperhatikan aspek pluralisme dan multikulturisme.
RANHAM merupakanproduk politik HAM Negara untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan HAM bagisetiap orang yang ada di Indonesia oleh para penyelenggara kekuasaan negarauntuk menjalankan tugas untuk mengabdi kepada masyarakat dengan berorientasipada HAM, serta dengan membangun kerja sama yang sinergistik antar lembagapemerintah dengan masyarakat madani.
Dalam PeraturanPresiden Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia(RANHAM) 2011-2014 terdapat 7 (tujuh) Program utama yaitu: 1). pembentukan dan penguatan institusi pelaksanaRANHAM; 2). persiapan pengesahaninstrumen HAM Internasional; 3). harmonisasi rancangan dan evaluasi peraturanperundang-undangan; 4). pendidikan HAM;5). penerapan norma dan standar HAM; 6). pelayanan komunikasi masyarakat; dan 7). pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
Salah satukegiatan RANHAM Indonesia Tahun 2011-2014 adalah hak berkeluarga danmelanjutkan keturunan yang masuk dalam program penerapan norma dan standar HAM. Permasalahan kegiatan ini adalah masih banyaknya perkawinan yang belumdicatatkan pada kantor pencatatan perkawinan yang mengakibatkan istri dananaknya tidak mendapatkan perlindungan hukum. Rencana aksinya adalah: 1).Sosialisasi tentang perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan; 2).Pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi yang perkawinannya belum dicatatkan; dan3). Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
E. PandanganPemerintah
Perempuan dananak adalah kelompok yang rentan mengalami pelanggaran HAM. Hal ini disebabkankarena banyaknya bukti empiris yang menyebutkan bahwa kelompok rentan ini telahmengalami berbagai diskriminasi, marginalisasi, bahkan kekerasan. Kekerasanperempuan dan anak tersebut berlaku umum dan tidak memiliki relevansi denganjenis pendidikan, pekerjaan dan penghasilan, kedudukan sosial, agama dankeyakinan, usia, suku bangsa, etnis dan ras yang melekat pada laki-laki danperempuan. Artinya pada semua jenis strata sosial, kekerasan terhadap perempuandapat terus akan terjadi sepanjang ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuanmasih diyakini dan dimanisfestasikan dalam kehidupan sosial.
Masalahkekerasan dalam rumah tangga yang terjadi terkait dengan ketimpangan hubungan laki-laki danperempuan dan kurangnya pemahamanperempuan tentang hak-hak mereka dalam sebuah perkawinan. Hal tersebut sangatdisayangkan karena keutuhan dan keharmonisan sebuah keluarga, membutuhkanperaturan perundang-undangan yang progresif untuk memberikan perlindunganterhadap hak-hak perempuan. .
Secara teoriperubahan sistem hukum dan perundang-undangan yang terjadi menyebabkan perlunyapara pembentuk peraturan perundang-undangan menyikapi terhadap peraturanperundang-undangan yang berlaku selama ini.
Dalam kaitannyadengan seminar ini yang mendorong adanya perubahan Undang-Undang Nomor 1 tahun1974 tentang Perkawinan, maka kami berpandangan apabila memang undang-undangtersebut perlu dirubah maka peraturan perundang-undangan tersebut nantinya harus mempunyai dasar-dasar berlaku yangbaik. Biasanya ada tiga landasan/dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlakusecara baik yaitu mempunyai landasan yuridis, sosiologis, dan filosofis. Karena peraturan perundangan-undangan adalah hukum, maka peraturanperundangan-undangan yang baik harus mengandung ketiga unsur tersebut.
Dasar yuridis ini sangat penting dalam pembuatan peraturanperundang-undangan karena akan menunjukkan:[9]
Pertama: keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan.Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yangberwewenang. Kalau tidak, peraturan perundangan itu batal demi hukum (vanrechtwege nietig). Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batalsecara hukum. Misalnya, undang-undang dalam arti formal (wet in formele zin)dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap undang-undang yang tidakmerupakan produk bersama antara Presiden dan DPR adalah batal demi hukum.Begitu pula keputusan Menteri, Peraturan Daerah dan sebagainya harus pulamenunjukkan kewenangan pembuatnya.
Kedua: Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturanperundangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan olehperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat. Ketiadaksesuaianbentuk ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan peraturanperundang-undangan tersebut. Misalnyakalau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau undang-undang terdahulu menyatakanbahwa sesuatu diatur dengan undang-undang, maka hanya dalam bentukundang-undanglah hal itu diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain misalnyaKeputusan Presiden, maka Keputusan Presiden tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar).
Ketiga: Keharusan mengikuti tatacara tertentu. Apabila tatacara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demihukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Keempat: Keharusan tidak bertentangan dengan peraturanperundangan-undangan yang lebih tinggi tingkatnya. Suatu undang-undang tidakboleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan UUD. Demikian pula seterusnyasampai pada peraturan perundang-undangan tingkat yang lebih bawah.
Selanjutnya, Bagir Manan[10]mempertanyakan, apakah yang dimaksud dengan dasar berlaku secara sosiologis (sociologishegelding)? Dasar sosiologis artinya mencerminkan kenyataan yang hidup dalammasyarakat. Dalam satu masyarakat industri, hukumnya harus sesuai dengankenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Dasarfilosofis artinya hakekat (inti) latar belakang pembuatan undang-undangsebagaimana terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia.
Pernyataan di atas ditegaskan dalam Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan ”Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD harus disertaiNaskah Akademik” . Pasal 44 menyatakan :”Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undangdilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
Dalam membentukperaturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas pembentukanperaturan perundang-undangan yang baik,meliputi: a) . kejelasan tujuan; b) Kelembagaan atau pejabat pembentuk yangtepat; c) kesesuaian antara jenis, hirarki dan materi muatan; d) dapatdilaksanakan; e) kedayagunaan dan kehasilgunaan; f) kejelasan rumusan; dan g) keterbukaan.[11]
Pasal 6 ayat (1)UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan materimuatan peraturan perundang-undnagan harus mencerminkan asas: a). pengayoman;b). kemanusiaan; c). kebangsaan; d). kekeluargaan; e) kenusantaraan; f). bBinnekaTunggal Ika;g). keadilan; h). kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah;i). ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j). keseimbangan, keserasian, dankeselarasan.
F. Penutup
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
DAFTARPUSTAKA
Bagir Manan, Dasar-DasarPerundang-undangan Indonesia, Penerbit, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992.
Catatan KomnasPerempuan, Tak Hanya Di Rumah: PengalamanPerempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang, Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2009
EndangSumiarni, Kajian Hukum Perkawinan yang Berkeadilan Jender, Yogyakarta,Wonderful Publishing Company, 2004.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945
-------------, Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
-------------, PresidenNomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2011-2014
-------------,Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 01 tahun2010 tentang Standar Pelayanan MinimalBidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
JimlyAsshiddiqie, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, “studium general pada acara The 1st National ConverenceCorporate Forum for Community Development”, Jakarta, 19 Desember 2005.
*) Makalahdisampaikan dalam Seminar Nasional “MendorongPerubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974” , Gedung Mahkamah Konstitusi,Ruang Konferensi Pres Lantai 4, tanggal22 September 2011.
**) Penulis adalah Kepala Pusat Penelitian danPengembangan Hak-hak Kelompok Khusus, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM,Kementerian Hukum dan HAM R.I.
[1] Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, http://urais-klaten.blogspot.com/2010/03/uu-no-1-th-1974.htm
[2] Ibid.
[4] Endang Sumiarni, Kajian Hukum Perkawinanyang Berkeadilan Jender, Yogyakarta, Wonderful Publishing Company, 2004, hal.5.
[5] Lihat latar belakang dalamPeraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 01 tahun2010 tentang Standar Pelayanan MinimalBidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
[6] Tak Hanya DiRumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yangTimpang, CatatanTahunan Komnas Perempuan 2009
[7] Jimly Asshiddiqie, Demokrasi danHak Asasi Manusia, “studium generalpada acara The 1st National Converence Corporate Forum for CommunityDevelopment”, Jakarta, 19 Desember 2005.
[8] Pasal 1 angka 2 PeraturanPresiden Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak AsasiManusia Tahun 2011-2014.
[9] BagirManan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit,Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992, hlm. 14.
[10] BagirManan, 1992, op.cit., h 15
Materi tersebut di atas bersumber dari kegiatan Seminar Nasional, 22 September 2011. Materi tersebut dapat dapat anda download di blog ini.