Para pendiri bangsa telah sepakat dengan pilihan negara berdasarkan hukum dan bukan sebagai negara yang berdasar kekuasaan belaka. Hal ini dikukuhkan dalam UUD 1945 sebagai dasar acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalam UUD 1945, pembatasan dan pembagian kekuasaan telah diatur sedemikian rupa, demikian halnya dengan hak asasi manusia yang juga telah mendapatkan jaminan serta perlindungan. Penyelenggaraan negara dipisahkan ke dalam tiga cabang kekuasaan yaitu legislatif sebagai pembuat undang-undang, pemerintah sebagai pelaksana undang-undang, dan yudikatif melaksanakan peran kontrol atas penyimpangan terhadap undang-undang. Pemisahan kekuasaan ini dimaksudkan agar kekuasaan tidak berada pada satu tangan sehingga mencegah tindakan sewenang-wenang penguasa guna menjamin dan melindungi hak dan kebebasan rakyat. Sistem semacam ini merupakan pilihan yang rasional dan selaras dalam upaya mewujudkan tujuan dan cita-cita negara.
Dinamika ketatanegaraan meniscayakan perubahan-perubahan harus terjadi dan dilaksanakan agar mampu menjawab dengan tepat kebutuhan dan tuntutan perkembangan. Demikian juga, di dalam perjalanannya, UUD 1945 mengalami perubahan sebagai respon atas tuntutan dan perkembangan zaman. Berbagai perubahan mendasar terjadi pasca perubahan UUD 1945, salah satunya terkait dengan anutan sistem hukum dan kehadiran Mahkamah Konstitusi.
Di dalam UUD 1945, Negara hukum Indonesia dikonsepkan secara tegas sebagai negara hukum yang prismatis, menggabungkan segi-segi positif antara rechtstaat dan the rule of law dengan rasa keadilannya secara integratif. Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan menyebutkan bahwa Indonesia adalah "Negara Hukum", tanpa kata rechtsstaat yang diletakkan di dalam kurung. Hal itu harus diartikan bahwa sistem hukum yang kita anut sekarang bukan hanya rechtstaat yang menonjolkan prinsip kepastian sebagaimana tradisi kawasan Eropa Kontinental (Civil Law) dan bukan hanya the rule of law yang mengedepankan rasa keadilan sebagaimana tradisi hukum kawasan Anglo Saxon (Common Law).
Sejalan dengan itu, kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai buah amandemen UUD 1945 membawa angin segar bagi penegakan hukum. Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusional, Mahkamah Konstitusi tidak hanya berpatokan pada undang-undang melainkan berpedoman pada paradigma keadilan substantif. Mahkamah Konstitusi akan menerobos undang-undang apabila undang-undang tersebut terbukti menghalangi tercapainya keadilan. Namun demikian, perlu ditekankan juga bahwa pilihan paradigmatik Mahkamah Konstitusi atas penegakan keadilan substantif bukan berarti Mahkamah Konstitusi harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Selama undang-undang memberi rasa keadilan, maka Mahkamah Konstitusi akan menjadikannya sebagai dasar dalam pengambilan putusan. Sebaliknya, jika penerapan bunyi undang-undang tidak dapat memberi keadilan, maka Mahkamah Konstitusi dapat mengabaikannya untuk kemudian membuat putusan yang adil. Inilah inti hukum progresif atau hukum responsif yang dipahami dan diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
Pilihan paradigma ini didasari pada keyakinan bahwa sebagai pengawal konstitusi, demokrasi, dan hukum, Mahkamah Konstitusi harus mencari keadilan substansial, sebab hal ini merupakan pesan UUD 1945 dan dimuat juga dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada pasal 45 Ayat (1) yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasar UUD Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”. Bahkan apabila dicermati, dalam berbagai putusan, terlihat jelas bahwa Hakim Konstitusi dalam memutuskan perkara tidak hanya mendasarkan pada pasal-pasal UUD Republik Indonesia tahun 1945, melainkan juga merujuk pada staatsfumdamentalnorm sebagaimana dirumuskan dalam sistem nilai Pancasila.
Terkait dengan nilai-nilai Pancasila, Universitas Gadjah Mada senantiasa menaruh perhatian khusus kepada upaya pengawalan atas konsistensi kehidupan berbangsa berdasarkan Pancasila. Beberapa waktu yang lalu, dalam Deklarasi Udaya pada Kongres Pancasila II Tahun 2010 disampaikan bahwa pasca reformasi nilai-nilai Pancasila terpinggirkan dalam sistem hukum nasional. Untuk itu, perlu membangun Rumah Hukum Pancasila dengan upaya yang lebih progresif, yakni merestorasi paradigma ilmu hukum di Indonesia yang mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Dalam hal ini, diperlukan institusi yang mempunyai legitimasi di tingkat nasional yang bertugas memelihara, mengembangkan, dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila yang terbuka bagi pemikiran kritis terhadap Pancasila sebagai ideologi Negara.
Atas dasar itulah maka demi membawa kembali prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengacu pada nilai-nilai Pancasila, maka gerakan untuk mendorong, menghidupkan serta mengaktualisasi penguatan dan pengawalan nilai-nilai Pancasila sungguh sangat diperlukan. Dalam rangka itulah, Mahkamah Konstitusi bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan SARASEHAN NASIONAL 2011 “IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM PENEGAKAN KONSTITUSIONALITAS INDONESIA”.
Sarasehan ini akan mengupas strategi dan upaya memosisikan kembali nilai Pancasila sebagai orientasi pembudayaan kehidupan berkonstitusi. Demikian juga, penguatan dan pengawalan nilai-nilai Pancasila dalam setiap proses pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sebab, nilai-nilai Pancasila itu diperlukan untuk mengatasi pertarungan kepentingan, baik yang dilatari oleh kepentingan politik, fundamentalisme pasar, dan fundamentalisme agama yang merasuk dalam produk legislasi dan regulasi. Demikian pula, di ranah hukum, semangat penegakan hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila diperlukan sebagai jawaban atas tantangan membangun konstitusionalitas Indonesia.
B. Tujuan
1. Menghidupkan nilai-nilai Pancasila sebagai pembudayaan kehidupan berkonstitusi;
2. Menguatkan dan mengawal nilai-nilai Pancasila dalam politik legislasi;3. Mengkaji perspektif hukum progresif untuk mewujudkan keadilan substantif dalam bingkai nilai-nilai Pancasila.
C. Nama Kegiatan
Sarasehan Nasional “Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia”
D. Peserta
- Jumlah 500 orang di Gedung Grha Sabha Pramana UGM, dan 1500 orang melalui fasilitas video conference yang direlay di 39 perguruan tinggi se-Indonesia
- Praktisi hukum, akademisi, tokoh masyarakat, pemuda, LSM, organisasi masyarakat, organisasi politik, agamawan, media massa, dan lain-lain.
E. Sub Tema
Tema sarasehan ”Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia” dibagi ke dalam tiga sub tema yang masing-masing akan dibahas ke dalam 3 (tiga) panel, yaitu:
Panel I : Nilai-Nilai Pancasila sebagai Orientasi Pembudayaan Kehidupan Berkonstitusi
Panel II : Penguatan dan Pengawalan Nilai Pancasila dalam Politik Legislasi, Tinjauan Ideologis, Yuridis, dan Sosiologis
Panel III : Hukum Progresif untuk Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Bingkai Nilai-Nilai Pancasila
F. Waktu dan Tempat
Gedung Graha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada, Senin-Selasa, 2-3 Mei 2011
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka diberitahukan kepada Bapak / Ibu / Sdr. / (i) Dosen / Mahasiswa / Umm bahwa terkait dengan pemanfaatan Video Conference untuk penyelenggaraan Kuliah Umum dan Seminar Jarak Jauh, Mahkamah Konstitusi RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Gajahmada (UGM) Yogyakarta akan menyelenggarakan Saresehan Nasional yang akan disiarkan secara online ke – 39 Perguruan Tinggi se – Indonesia. Oleh karena itu, maka kami akan mengundang Bapak / Ibu / Sdr. (i) untuk dapat menghadiri acara tersebut pada :
- Hari / Tanggal : Senin, 2 Mei 2011 ~ Selasa, 3 Mei 2011
- Waktu : 08.00 WIB ~ Selesai (Jadwal Terlampir)
- T e m a : Implementasi Nilai – Nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusional Indonesia
- T e m p a t : Ruang Video Conference (Function Hall) - FH UNTAN
- Untuk Susunan Acara tersebut, dapat anda download diblog FH UNTAN ini, dimenu Download Files. Terima Kasih.
- Kegiatan ini akan diberikan SERTIFIKAT dari Penyelenggara seraca GRATIS, bila mengikutinya (2~3 Mei 2011).
- Terima Kasih
0 comments:
Posting Komentar