BAB XIII
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. ****)
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. ****)
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. ****)
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. ****)
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. ****)
1. Sebelum perubahan UUD 1945, Pasal 31 hanya terdiri dari dua ayat, antara lain: ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Ayat (2): Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. Dari kedua ayat tersebut, terkesan bahwa negara sebelumnya hanya mengakui saja hak-hak warga negara untuk mendapat pengajaran. Namun, semenjak perubahan, konstitusi tak hanya mengakui hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, namun juga memerintahkan setiap warga negara wajib menempuh – setidaknya – pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
- Apa latar belakang perubahan tersebut?
- Apakah kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar bermakna bahwa institusi sekolah tak lagi diperbolehkan mencatut biaya pendidikan sepeser pun kepada siswa. Artinya, kebutuhan biaya pendidikan dasar wajib belajar, sepenuhnya ditanggung Pemerintah?
- Adakah sanksi bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah, jika masih mangkir dari kewajibannya membiayai pendidikan dasar?
2. Ketika setiap warga negara berkewajiban menempuh pendidikan dasar dan pemerintah sudah berkewajiban membiayai pendidikannya, bagaimana dengan warga negara usia pendidikan dasar yang, sebagian di antaranya, hingga detik ini, belum mengenyam bangku sekolah. Contohnya, anak-anak para fakir miskin dan anak-anak terlantar yang bergelut mencari nafkah di jalanan. Bukankah seharusnya ada kewajiban pemerintah untuk mewajibkan mereka semua sekolah, bukannya berkeliaran di jalanan di jam-jam sekolah? Tindakan apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah menyangkut persoalan ini?
3. Berdasarkan ayat (3), seperti apa wujud satu sistem pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia lewat sistem pendidikan nasional?
4. Pelaku pendidikan, Darmaningtyas, dalam artikelnya (Kompas, 2 Mei 2008) menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) telah melegitimasi kekeliruan praksis pendidikan. Pendidikan seharusnya bertujuan memerdekakan manusia (Ki Hadjar Dewantara) atau sebagai proses pemanusiaan manusia (Driyarkara), salah satunya, melalui proses pendidikan kebudayaan. Namun kini, perkembangan sistem dan lembaga pendidikan sepertinya diarahkan ke model korporasi yang hanya bertujuan mencetak sumber daya manusia yang memiliki nilai ekonomis dan siap dieksploitasi untuk kepentingan pemodal. Bahkan, UU Sisdiknas, juga mengunduh terminologi manajemen korporasi seperti sertifikasi, standarisasi, dan pembentukan Badan Hukum Pendidikan. Pertanyaannya, apakah hal ini sejalan dengan konsep atau makna “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana tercantum dalam pembukaan dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945?
5. Persoalan pendidikan yang mengemuka saat ini ialah tentang Ujian Nasional yang dianggap menjadi momok bagi para murid. Ada yang menganggap UN justru melanggar HAM karena proses pendidikan bertahun-tahun hanya ditentukan oleh 3 hari masa ujian dan ada pula yang mendukung dengan alasan untuk meningkatkan SDM. Bagaimana sebenarnya “pesan” konstituti tentang UN ini?
6. Menurut Pemerintah, otonomi pendidikan sangat dibutuhkan oleh sekolah/madrasah, terutama oleh perguruan tinggi, agar tumbuh dan berkembang kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas, dan mobilitas yang merupakan prasyarat agar ilmu, teknologi, dan seni dapat berkembang secara paripurna. Untuk itu, dalam UU Sisdiknas, diamanatkan pula pembentukan UU Badan Hukum Pendidikan. BHP adalah badan hukum bagi penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal, yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik, berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
- Apakah konsep Otonomi Pendidikan yang diusung dalam UU Sisdiknas dan UU BHP sejalan dengan semangat perubahan Pasal 31 UUD 1945?
- Bukankah konsep “pengelolaan dana secara mandiri” justru berpotensi mematikan peluang anak bangsa yang tergolong miskin, untuk mengenyam pendidikan hingga level tertinggi (perguruan tinggi)?
7. Berdasarkan Pasal 31 ayat (4), kini pemerintah menetapkan anggaran pendidikan dari APBN sebesar 20%. Pada saat masa kampanye beberapa waktu lalu, ada partai politik yang mengklaim hal itu sebagai keberhasilan mereka. Bukankah hal itu sebenarnya keberhasilan MK karena tanpa paksaan melalui putusan MK, belum tentu pemerintah memiliki iktikad baik melaksanakan ketentuan UUD tersebut. Bagaimana pendapat Prof.?
8. Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (5), upaya apa saja yang bisa dilakukan Pemerintah untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia?
9. Sejauh ini, apakah pemerintah telah memberikan perhatian yang cukup pada pengembangan riset dan teknologi, termasuk penyebarluasan informasi dan pemasaran hasil karya riset anak bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan rakyat Indonesia?
Itulah materi yang dibahas pada kuliah konstitusi & suara konstitusi sore ini, pukul 16.00 ~ 18.00 WIB di ruang Video Conference Fakultas Hukum UNTAN.
Saksikan Kuliah Umum, yang diadakan di FH. UNIVERSITAS AIRLANGGA , melalui fasilitas Video Conference Mahkamah Konstitusi, secara langsung, pada :
Cetak Blog FH UNTAN Ke Printer
